Minggu, 21 April 2013

Satu Hati Satu Tujuan Satu Keluarga

Dhammadesana oleh: Y.L. Viriya Nanda
Tanggal: 21 April 2013
Tempat: Vihara Dharmakirti

Tema: Satu hati satu tujuan satu keluarga

Cerita 1: ada pasangan baru menikah minta diberi air pemberkahan saat pemberkatan pernikahannya. Mereka minta diberkati dengan harapan supaya keluarganya bisa langgeng.

Cerita 2: ada seorang ibu minta air yang dibacakan mantra dari vihara, karena anaknya sakit lupus. Ini adalah permintaan anaknya yang tidak bisa bicara karena sakitnya. Setelah diberi air langsung bisa ngomong.

Lalu apa hubungan air pemberkahan pada dua cerita di atas dengan tema 1 hati 1 tujuan 1 keluarga?
Air pemberkahan bisa manjur karena adanya keyakinan. yang terpenting adalah satu hati, satu tujuan, satu keluarga.

Keluarga bukan hanya suami istri dan anak. Pada dasarnya keluarga memang dimulai dari suami dan istri. Tapi ada juga jenis keluarga yang lain, misalnya dalam organisasi. Apakah semua ingin harmonis? Pasti. Tapi tidak selamanya harmonis. Keluarga kita bisa cekcok, apalagi keluarga organisasi, semua tidak lepas dari pertengkaran. Setiap orang, setiap makhluk, di alam manusia, alam hewan dan alam dewa, semua ingin harmonis.

Apa sebab ada suatu pertengkaran?
Itu karena manusia memiliki sifat iri hati dan pikiran picik. Iri itu adalah perasaan tidak senang melihat orang lain bahagia. Iri juga berarti cemburu. Jika cemburu pasti kita merasa sesak. Adanya perasaan cemburu karena ada perasaan suka. Kenapa ada perasaan suka, karena ada perasaan ingin memiliki. Dan rasa suka itu menimbulkan rasa posesif. Dalam buddhis disebut tanha. Akibat dari punya perasaan iri, picik, cemburu, maka batin akan menderita. Kita jadi tidak bisa tidur.

Bagaimana agar tidak muncul perasaan iri dan picik?
Yaitu dengan menumbuhkan cinta. Cinta itu adalah memberi. Kalau dalam dhamma yaitu melaksanakan hak dan kewajiban. Wujud cinta adalah pengendalian diri. Jika Anda cinta pada pasangan Anda, maka Anda tidak akan selingkuh, tidak ada seleweng. Jika cinta anak, maka akan sayang kepada anak. Jika cinta pada orangtua maka akan berbakti. Jika cinta lingkungan maka tidak akan buang sampah sembarangan agar tidak banjir.

Kewajiban suami terhadap istri: memberi nafkah, memberi makan, duit, pakaian, perhiasan, secara batin memberi pujian. Bukan hanya dalam keluarga saja harus memberi pujian, tapi dalam organisasi juga. Jika tidak mau istri punya PIL, maka harus beri pujian. Jangan hanya pada saat pacaran saja memuji-muji. Atau, memberi pujian jika ada maunya saja. Pujian itu penting.

Kewajiban istri: melayani suami, memberi makan, merawat anak, menjaga harta suami, merawat rumah, dan memberi pujian juga. Istri juga perlu memberikan pujian kepada suaminya. Jangan lupa anak juga memberi pujian.

Dalam bermasyarakat, wujud cinta adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban.

Kewajiban umat Buddha: berbuat baik.

Tujuan dalam hidup (cita-cita):
1. Ingin cukup materi. Ukuran dalam dhamma adalah cukup. Jika berlebihan maka akan serakah.

2. Ingin punya kedudukan yang tinggi. Punya kedudukan bukan aji mumpung. Gunakan kesempatan pada saat punya jabatan tinggi untuk berbuat baik.

3. Ingin hidup sehat dan umur panjang. Bagaimana supaya berumur panjang? Jangan memperpendek umur makhluk lain. Bisa juga dengan fangshen. Kalau ingin sehat, harus olahraga. Jangan lupa untuk berbuat baik.

Jika kita sudah punya semuanya maka gunakan untuk berbuat baik, sehingga kita bisa terlahir di alam surga.

Dalam keluarga, kita harus punya cinta dan cita. Ketika kita sudah memiliki itu, maka kita akan berbahagia. Dengan demikian hidup kita akan harmonis.

Sabtu, 20 April 2013

Perkataan Benar

Dhammadesana oleh: Bapak Hendra Wijaya
Tanggal: 14 April 2013
Tempat: Vihara Dharmakirti

Buddha bukan hanya mengajarkan jangan berkata dusta, tapi juga perkataan benar.

Perkataan benar ada 4 hal:
- tidak berkata dusta
- jangan berkata kasar
- tidak berkata fitnah
- tidak bergosip (omongan sampah)

Kenapa di Pancasila Buddhis hanya disebutkan tidak berkata dusta?
Karena itu adalah yang paling sulit. Orang bisa berkata halus, tapi isinya bohong. Kalau perkataan kasar itu pasti perkataan tidak benar. Fitnah, itu sudah pasti bohong. Tidak bergosip juga adalah bohong.

Ajaran Buddha kepada Rahula:
"Demikianlah Rahula seharusnya engkau melatih diri, aku tak akan berkata bohong sekalipun dalam canda."

Ada orang bilang, "Mulutnya ini kasar tapi hatinya baik."
Benarkah pernyataan itu?
Mulut kasar, pada saat ia teriak-teriak pasti hatinya tak baik, ini menurut standar Buddha.

Dalam mendidik anak jangan sampai memaki-maki. Kata Buddha, jangan menyakiti anak seperti itu. Buddha tidak pernah membentak. Jika ada orang salah, berkatalah dengan damai, penuh kasih sayang. Itu standar Buddha.

Menghindari perkataan kosong. Perkataan kosong (sampah) maksudnya yaitu kata-kata tak bermanfaat secara spiritual. Contoh: kata-kata mengenai raja (pemimpin negara), kata-kata tentang mencoleng (copet), kata-kata tentang para mentri, tentang tentara, perang, tentang makan dan minum, tentang kota, daerah, tentang perempuan, pahlawan, asal mula semesta.

Pada jaman dulu banyak pelawak yang menghibur org. Ada yang percaya bahwa pelawak sesudah meninggal bisa terlahir menjadi dewa. Kata Buddha: "Orang-orang yang suka menghibur orang lain dengan kata-kata sampah yang kata-katanya berdasarkan lobha, dosa, moha, maka ketika orang tersebut mati ia akan lahir di neraka tawa. Dan, orang-orang yang percaya pada orang pelawak ini, ia akan terlahir di alam sengsara juga.

Bagaimana cara berbicara yang benar?
1. Jika suatu perkataan tidak benar, tidak bermanfaat dan tidak menyenangkan, maka jangan ngomong.
2. Kalau benar tapi tak bermanfaat dan tidak menyenangkan, jangan ngomong.
3. Kalau benar dan bermanfaat, tapi tidak menyenangkan, maka cari waktu yang tepat.
4. Kalau tidak benar, tidak bermanfaat, tapi menyenangkan, jangan ngomong.
5. Kalau tidak benar, bermanfaat, menyenangkan, jangan ngomong.
6. Kalau benar, bermanfaat, menyenangkan, silakan ngomong tapi cari waktu yang tepat.

Kesimpulan: kita patut ngomong kalau perkataan itu benar dan bermanfaat. Menyenangkan atau tidak, itu urusan nanti.

Contoh: jika pegawai malas, kita omongin di depan umum, itu tidak boleh walau benar dan bermanfaat. Yang bagusnya: cari waktu yang tepat untuk ngomong, jangan memarahi di depan umum. Ajak pegawai bicara di ruang khusus.

Menurut Ajahn Brahm, sebelum ngomong tanya 3 pertanyaan pada diri sendiri:
1. Apakah saya perlu ngomong? Apakah perlu diomongkan? Penting nggak?
2. Apakah ini benar-benar penting sekali?
3. Apakah ini benar-benar sangat penting sekali?

Apa yang keluar dari mulut kita, jauh lebih penting daripada apa yang masuk.
~Ajahn Brahm
Maksudnya ucapan kita seharusnya penuh damai dan kasih sayang.

Seandainya kita sudah baik hati dan berucap benar tapi lalu dihina orang, bagaimana sikap kita seharusnya?
Buddha berkata ada resepnya:
1. Menumbuhkan kasih sayang pada orang itu.
2. Menumbuhkan kewelasan
3. Dengan ketenangan dan keseimbangan diri.
4. Tidak menghiraukan orang tersebut.
5. Baca paritta. Sabbe satta kamayoni, kamabandhu. Jika dia berbuat salah, dia terima sendiri akibatnya.

Yang berbahaya itu reaksi kita.

Menurut Buddha, perkataan itu tidak terlalu penting. Kisahnya ada di Dhammapada 259.
Karena, biarpun kata-kata itu sedikit, tapi memancarkan kasih sayang, maka itu lebih baik daripada kata-kata yang panjang lebar tapi tidak ada kasih sayang.

Jumat, 19 April 2013

Kejujuran

Dhammadesana oleh: Romo Girinanda
Tanggal: 7 April 2013
Tempat: Vihara Dharmakirti

Belajar dari hujan. Ada seorang nenek punya 2 orang putra, jual payung dan jual es.
Pada musim hujan si nenek senang karena anaknya yang jual payung laris tapi dia sedih karena anak yang jualan es tidak laku. Dan sebaliknya.
Akhirnya dia jadi menderita.
Penderitaan ini diciptakan oleh pikiran.

Proses belajar bisa dari mana saja, hujan, peristiwa di pasar, persembahan. Di mana saja bisa belajar dhamma.

Pada buku "20 kesulitan dalam kehidupan" karya Master Cheng Yen: sulit bagi orang miskin untuk berdana. Kadang bagi orang suka merasa tidak cukup untuk berdana. Padahal berdana tidak hanya uang. Bisa dengan cara donor darah. Ada contoh orang lumpuh yang akhirnya sembuh karena dikunjungi relawan, ia lalu berbuat kebajikan melalui spirit.

Karaniya metta sutta bait 1.
Apakah masih ada manusia yang seperti bait 1? Masih adakah orang jujur? Kejujuran adalah suatu praktek dhamma. Di theravada ada 10 paramita. Siapapun yang ingin jadi Buddha harus sempurnakan 10 itu. Salah satunya adalah sacca (kejujuran).

Orang yang jujur hidupnya pasti tenang. Kalau orang yang banyak bohong pasti tidak tenang karena dihantui oleh kesalahan yang dilakukan.

1 saja ini dilakukan, ini pasti akan membuat hidup bahagia walaupun tidak memakai jubah (menjadi bhikkhu). Satu ini dilatih secara konsisten. Dan jika dilakukan maka dunia ini akan aman. Jika semua orang di dunia ini jujur, menurut sang Buddha, maka usia manusia akan bertambah.

Pada suatu sutta, dijelaskan usia manusia pernah 80ribu tahun, lalu berkurang menjadi 40ribu tahun karena banyak pembunuhan. Lalu menjadi 20ribu karena banyak kebohongan. Usia manusia kemudian menjadi turun dan terus turun.

Karena suka berbohong, ada ketakutan. Maka ada tekanan batin sehingga mudah sakit, pikiran sakit, dan banyak sekali penderitaan yang kita alami. Maka benar seperti kata sang Buddha, jika jujur maka usia akan bertambah. Dengan praktek jujur kita akan merasa bahagia.

Suami istri atau orang berpacaran, jika mau awet harus jujur. Jika tidak jujur, ada yang disembunyikan maka tinggal tunggu bom waktu maka akan hancur.

Pandangan ekonomi Buddhis, ketika kita berjualan mencari untung sebesar-besarnya maka itu menimbulkan keserakahan. Dan keserakahan akan menimbulkan ketidaktenangan.

Pada suatu saat sang Buddha pernah terlahir sebagai pedagang. Saat itu ada pesaingnya yang juga seorang pedagang. Buddha berjualan kendi. Pada suatu ketika, karena Buddha melatih kejujuran, ada seorang nenek punya guci emas mau dijual. Nenek itu jual pada pedagang ke-2. Pedagang itu tahu bahwa harga guci nenek itu mahal, maka ia katakan guci itu tak berharga. Maka nenek itu tak jadi jual padanya. Nenek pindah ke toko lain. Pedagang ke-2 karena serakah ingin memiliki guci. Nenek jual ke Buddha. Buddha jujur, Ia bilang ditukar dengan tokonya pun takkan terbayar. Nenek bilang tak apa-apa yang penting ada beras untuk makan. Akhirnya guci diberikan pada Buddha. Pedagang ke-2 tidak senang, ia jadi dendam. Karena dendam menumpuk ia mati dengan muntah darah dan tercipta pikiran kebencian sampai kelahiran berikutnya menjadi musuh Buddha, yang selalu ingin merusak kehidupan Beliau.

Dari kisah tersebut disimpulkan bahwa kejujuran membawa manfaat, membawa berkah.

Coba dengarkan suara hati. Jika mendengar itu, maka pikiran dan perbuatan akan baik, berjalan di jalur kejujuran. Karena pikiran mudah menciptakan keserakahan, dengan mendengarkan suara hati maka tidak serakah lagi. Ini adalah metode untuk melatih kejujuran.

Manfaat kejujuran:
Tenang, tidak ada rasa bersalah, percaya diri dan hidup lebih hepi.

Suara hati adalah apa adanya, dan itulah kebenaran, dan itulah kejujuran.

Selasa, 02 April 2013

Jika Pekerjaan Membosankan

Apa yang akan dilakukan Buddha dengan pekerjaan yang membosankan?


Mencari pasir ketika sedang membersihkan beras.
Mencari beras ketika sedang melemparkan pasir.
~Dogen, "Instruction for the Cook," Shobogenzo


Kita mudah sekali terbawa ke dalam kebodohan. Pikiran kita sangat hebat karena dia akan tertidur bila tidak kita gunakan, bahkan di saat kita terjaga sekalipun. Kebanyakan hari-hari kerja kita berlangsung seperti ini. Jika kita melewatkannya, kita akan sangat kehilangan.

Kata-kata Dogen tentang masakan mengingatkan kembali pada tugas-tugas kita sekarang ini. Pekerjaan terendah sekalipun menjadi hidup ketika kita memperhatikannya. Hal ini sulit dipercaya, tetapi saya telah membuktikannya. Membuat kopi memerlukan perhatian seksama, kemudian penyajian kopi tersebut memberikan kepuasan sejati. Pikirkan tentang meditasi: tidak ada yang bisa lebih lembut, karena bila kita melakukannya dengan benar, hal tersebut tidaklah membosankan. Pada saat kita membersihkan beras, kita harus melihatnya dari dekat. Ketika sedang melemparkan pasir, kita harus hati-hati. Melalui perhatian seperti ini, kita menemukan kepuasan; butiran-butiran padi itu menjadi barang kecil yang berharga.





Sumber: What Would Buddha Do?
By: Franz Metcalf.
Penerbit PT. Bhuana Ilmu Populer