Ada seekor burung elang yang mencuri sekerat daging dari
tukang daging. Beberapa anak laki-laki yang melihat burung itu terbang membawa
sekerat daging mengejar burung elang tersebut dan mencoba menakut-nakutinya.
Tetapi burung itu terus terbang dan mengubah arah sehingga anak-anak itu tidak
mengikutinya lagi.
Seorang pendeta yang memperhatikan kejadian ini berkata,
“Ijinkan aku mencoba agar burung itu menjatuhkan dagingnya. Matanya terus
mengawasi arah terbang burung itu. Ia berteriak dan bertepuk tangan dengan
keras.
Suara tersebut mengganggu burung itu sehingga tanpa sadar
dia melepaskan cengkeraman dagingnya karena takut. Pendeta yang melihat daging
jatuh segera menangkapnya sebelum daging itu menyentuh tanah.
Berita tentang pendeta itu sampai ke telinga Raja
Brahmadutta dan menteri, Senaka. Raja Brahmadutta kagum akan siasat pendeta itu
dan ingin mengangkatnya sebagai penasihat, tetapi Senaka iri hati dan berusaha
menyingkirkan pendeta ini dengan berpikir, “Aku akan segera kehilangan
kemurahan hati raja. Aku harus melakukan sesuatu kepada pendeta ini.”
Lalu dia berkata kepada raja, “Marilah kita uji pendeta
itu dan kita hadapkan ke sidang. Akal bulus kecil menakuti burung seperti itu
tentu tidak dapat membuktikan apa-apa.” Raja setuju mengujinya agar lebih
teliti memperhatikan pendeta itu.
Ujian
pertama:
Seorang wanita tua yang miskin pergi mandi di sungai, dia
mengenakan kalung simpul yang indah terbuat dari benang-benang beraneka warna
yang dibuatnya sendiri. Seorang wanita muda yang melihat kalung indah ini
melingkar di leher wanita tua itu ingin memilikinya. Lalu, perempuan itu,
“Alangkah indahnya kalung buatanmu sendiri. Aku ingin memakainya sejenak,
bolehkah?”
Wanita tua senang hatinya mendengar pujian ini dan
berkata, “Tentu, kamu boleh memakainya untuk beberapa menit saja ketika aku
sedang mandi. Alangkah senangnya kamu menyukai hasil karyaku.”
Wanita muda itu mengambil kalung dan segera berlari.
Tidak jadi mandi, wanita tua yang miskin itu mengejarnya dan akhirnya dapat
menangkap wanita muda itu. “Mengapa kamu tega mencuri kalungku?” tanyanya.
Wanita muda itu menjawab, “Alangkah beraninya kamu
menyebutku sebagai seorang pencuri! Ini adalah kalungku dan aku tidak tahu apa
maksudmu.” Orang banyak mulai mengelilingi mereka, ingin tahu apa yang sedang
dipertengkarkan kedua wanita ini.
Pendeta yang berdiri dekat mereka datang menghampiri dan
bertanya apa yang sedang dipertengkarkan oleh mereka. Lalu dia berkata,
“Ijinkan wanita ini datang ke hadapanku dan aku akan mengetahui siapa yang
berbicara benar.” Kedua wanita itu menyetujui hal ini.
Pertama, pendeta menanyai wanita muda itu, “Sudahkah kamu
memakai parfum untuk membuat harum kalung ini?”
“Aku memakai wangi-wangian yang mahal. Namanya Subbasamharaka, yakni campuran dari semua wangi-wangian
yang ada di pasar,” jawab wanita itu dengan sombong.
Pendeta lalu kembali kepada wanita miskin dan memberikan
pertanyaan yang sama. Dia menjawab, “Pendeta, aku terlalu miskin untuk membeli
wangi-wangian. Aku mengumpulkan beberapa bunga henna dan mewangikan kalungku
dengan sari bunga-bunga henna itu.”
Pendeta memasukkan kalung itu ke dalam mangkuk yang
berisi air dan memanggil ahli parfum untuk mencium harumnya bunga itu.
“Ini adalah harum bunga-bunga henna,” kata ahli parfum.
Wanita muda itu menjadi malu dan mengakui kebohongannya,
lalu dikembalikannya kalung itu kepada yang berhak memilikinya, wanita tua
tersebut.
Ujian
kedua:
Ada seorang wanita yang telah melahirkan seorang bayi
laki-laki tampan. Suatu hari dia meletakkan bayinya untuk tidur di sebelah
danau sementara dia pergi mencuci muka. Lalu, datanglah seorang perempuan
melihat bayi tampan itu dan menginginkannya. Perempuan itu bertanya, “Bolehkah
aku bermain-main dengan anakmu? Dia sangat tampan!” Perempuan itu pura-pura
bermain dengan bayi tersebut untuk beberapa waktu sambil menunggu saat yang
tepat untuk membawa bayi itu kabur.
Ibu bayi segera lari mengejar dan menangkapnya. “Mau
dibawa ke mana anakku?” teriaknya. “Apakah ini memang anakmu? Ini adalah
anakku,” kata perempuan itu. Mereka bertengkar dengan sengitnya sehingga
orang-orang berkerumun mengelilingi mereka dan mencoba menerka siapakah di
antara mereka yang benar.
Salah satu dari orang-orang itu pergi ke pendeta dan
menceritakan tentang pertengkaran itu. Pendeta itu mendatangi kedua wanita
tersebut dan meminta mereka untuk menyetujui keputusannya. Kedua wanita itu
setuju.
Pendeta menggambar sebuah garis di tanah dan meletakkan
bayi itu di sana, sebagian dari tubuh bayi itu berada di salah satu sisi dan
bagian lain berada di sisi yang berlawanan. Lalu, dia menyuruh perempuan itu
untuk memegang kedua tangan anak itu dan ibu bayi memegang kakinya. “Sekarang,”
katanya. “Jika aku memberi
perintah, tariklah pada waktu yang bersamaan. Siapa yang berhasil menarik anak
ini dari tempatnya masing-masing dengan utuh, dialah yang akan menerima anak
ini.”
Kedua wanita itu mulai menarik hingga anak itu mulai
menangis kesakitan. Ibu bayi segera melepaskan anak itu dan mulai menangis,
sedangkan perempuan muda itu tertawa dan menarik bayi itu ke arahnya.
Sekarang pendeta memperhatikan orang-orang yang sedang
berdiri menonton dan bertanya kepada mereka, “Katakan kepadaku, siapakah ibu
yang sesungguhnya dari bayi ini?”
Mereka segera menunjuk ke wanita yang sedang menangis itu
dan menjawab dengan satu kata, “Dialah ibu yang sesungguhnya karena dia tidak
tahan melihat anaknya kesakitan.”
Ibu itu menggendong anaknya sambil memegang kaki pendeta
dengan penuh rasa terima kasih, sedangkan perempuan jahat itu ditangkap
pengawal kerajaan untuk dipenjara.
Ujian
ketiga:
Senaka, menteri yang iri membuat ujian lain untuk pendeta
itu. Dia membawa sebatang pohon akasia dan memotong sedikit batang pohon itu
lalu diukurnya sejengkal dan dibulatkan sampai licin. Potongan itu demikian
sempurna sehingga tidak memungkinkan seseorang dapat membedakan mana pangkal
akar pohon itu.
Menteri Senaka mengeluarkan pengumuman, “Siapakah yang
sanggup menyatakan mana yang pangkal akar dan bagian mana yang merupakan bagian
atas dari pohon ini. Bila gagal menjawab, akan didenda berat!”
Tidak seorangpun yang sanggup memberi jawaban dengan tepat, lalu mereka memohon bantuan kepada pendeta. Dengan seksama,
pendeta memperhatikan potongan kayu itu dan berpikir, “Persoalan ini dibuat hanya
untuk menangkapku. Mereka menggunakan perangkap yang mana ujung dan pangkal
akar dari batang pohon ini.”
Pendeta tersebut memegang potongan kayu tersebut lalu
mengikat seutas tali di bagian tengahnya. Dia mengambil seember air dan memasukkan potongan kayu
itu ke dalamnya kemudian memegang salah satu ujung tali di tangannya. Di bagian
akar biasanya lebih berat daripada di bagian atas. Lalu, salah satu ujungnya
akan tenggelam lebih dalam dari ujung lainnya.
“Yang mana lebih berat, ujung akar atau bagian atas
pohon?” tanyanya.
“Ujung akar lebih berat,” jawab orang-orang itu.
Lalu pendeta itu berkata, “Jika demikian, itu adalah
ujung akar pohon itu,” sambil menunjuk bagian potongan kayu yang tenggelam.
Ujian
keempat:
Raja Varanasi mempunyai permata indah yang berlubang. Ada
seutas benang di bagian tengah lubang itu dan tak seorang pun yang dapat
mengeluarkannya. Dengan berbagai cara, tukang emas dan para ahli mencoba untuk
mengeluarkannya, tetapi tidak ada yang berhasil. Lalu, pendeta itu dipanggil
dan diserahkan tugas tersebut untuk menguji kepandaiannya.
Pendeta meminta sedikit madu dan menorehkan beberapa
tetes madu di lubang tersebut lalu menaruh permata itu dekat sarang semut.
Segera saja makhluk-makhluk kecil ini memasuki permata, mengisap madu di sepanjang
benang yang terendam madu dan akhirnya semut-semut itu membawanya keluar dengan
harapan dapat makan madu lagi.
Pendeta sanggup mengambil benang dari dalam permata itu
dan menyerahkannya kepada raja. Raja sangat gembira dan ingin menunjuk pendeta itu
sebagai penasihatnya. Tapi, Menteri Sanaka berkilah kepada raja untuk menunda
bukti lebih lanjut akan kebijaksanaan pendeta.
Ujian
kelima:
Untuk membingungkan sang pendeta, atas perintah Senaka,
diumumkanlah sebuah pesan kepada orang-orang desa. Pesan itu berbunyi: “Raja
ingin bermain ayunan di istana, namun tali yang ada sudah tercabik-cabik tak
terpakai dan tak berguna lagi. Jadi, buatlah tali yang terbuat dari pasir. Bila
kamu gagal membuatnya, kamu akan dihukum.”
Orang-orang desa tidak mengerti dan tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan. Mereka memohon bantuan pendeta itu dan pendeta itu tahu
bahwa tugas ini tak akan pernah bisa dilakukan. Dia memanggil orang-orang desa
dan berkata kepada mereka untuk membuat beberapa pertanyaan yang sulit dijawab.
Mereka lalu menemui raja dan berkata, “Baginda, kami
orang-orang desa ingin tahu tali pasir macam apakah yang Baginda butuhkan untuk
bermain ayunan? Seberapa ketebalannya dan bagaimana mutunya? Maukah Baginda
mengirim sedikit contoh tali pasir itu agar kami bisa membuatnya di rumah dan
memperbanyaknya?”
“Aku tidak pernah memiliki seutas tali yang terbuat dari
pasir, mana mungkin tali seperti itu dapat dibuat?” jawab raja.
Semua orang desa itu berkata, “Bila Baginda tidak dapat
membuat tali seperti itu, bagaimana kami dapat membuatnya untuk Baginda?”
Akhirnya raja tahu bahwa itu adalah perkataan pendeta
yang diajarkan kepada orang-orang desa untuk menangkis serangan balasan; raja
menjadi bertambah senang atas kepandaian pendeta.
Ujian
keenam:
Di kebun istana Varanasi ada sebuah danau. Di sebuah
sudut dari danau itu tumbuh pohon palma. Di antara cabang-cabang pohon ini
terdapat sarang seekor burung gagak. Bayangan sarang ini tampak di danau dan
ketika para tukang kebun datang mengambil air danau, mereka tercengang melihat
bayangan kalung indah di dalam air.
Para tukang kebun segera berkata kepada raja bahwa kalung
permaisuri ada di dalam danau. Raja datang dan melihat bayangan kalung itu lalu
memanggil semua pelayan untuk menguras air danau itu. Ketika danau kering,
mereka mencari permata itu, namun tidak berhasil menemukannya, bahkan jejaknya
pun tidak ada. Mereka menggali dasar danau itu lebih dalam, tapi kalung itu
masih juga tidak tampak.
Berangsur-angsur air danau itu penuh kembali dan bayangan
itu tampak jelas. Karena tidak memahami hal ini, raja memanggil pendeta dan
berkata kepadanya, “Pendeta Yang Mulia, dapatkah kamu menarik kalung dari dalam
danau itu dengan kekuatanmu?”
Pendeta lalu meminta sebuah ember, lalu mengisinya dengan
air. Dan menempatkannya di mana bayangan itu berada. Permata itu tampak
terapung di dalam air yang ada di dalam ember itu. Lalu dia memindahkan ember
itu dan bayangan kalung itu tampak kembali di tempatnya semula di permukaan air
danau itu.
Lalu, pendeta itu menunjuk ke arah pohon delima dan
sarang burung gagak. “Yang Mulia, burung gagak telah membawa permata itu dan
meletakkannya di dalam sarang. Tadi hanyalah bayangan dari kalung yang kita
lihat di dalam air. Perintahkan seorang laki-laki untuk memanjat dan mengambil permata itu,” ujar
pendeta itu kepada raja.
Akhirnya permata itu dibawa turun dari pohon dan
diberikan kepada raja. Setiap orang kagum akan kebijaksanaan pendeta itu dan
raja menunjuknya sebagai penasihatnya.
Sumber:
Cerita Rakyat Buddhis
Oleh: Visalakshi Johri
Penerbit Dian Dharma
2009