Jumat, 30 April 2010

Swastika, Menjadi Baik


Kata Swastika berasal dari kata Sansekerta, "Svasti"; terdiri dari kata Su yang berarti baik, kata Asti yang berarti adalah dan akhiran Ka yang merupakan akhiran pembentuk nama benda. Jadi secara harafiah, Swastika berarti "menjadi baik".

Swastika diyakini sebagai salah satu simbol tertua di dunia, telah digunakan lebih dari 3.000 tahun. Swastika banyak ditemukan pada koin, keramik, senjata, perhiasan kuno, ataupun altar keagamaan yang tersebar di Cina, Jepang, India, dan Eropa Selatan.

Swastika Buddhis digambarkan berlawanan dengan arah jarum jam, kebalikan dengan swastika Hindu dan Nazi.

Simbol swastika dapat ditemukan pada dada, telapak tangan, dan telapak kaki Buddha. Swastika juga banyak menghiasi candi-candi di Asia dan di wihara-wihara di Korea. Kita juga dapat melihat swastika pada Pilar Ashoka di India.

Swastika Buddhis melambangkan penyangkalan terhadap keduniawian. Untuk bisa bahagia, kita harus melawan arus keduniawian. Artinya, kita harus bisa mengurangi keinginan yang tidak bermanfaat, hidup lebih sederhana, dan menerapkan ajaran Guru Agung kita, Buddha Gotama, dalam hidup sehari-hari.



Sumber: MAMIT 10 - Sep 2009

Berbuat Baik

Tujuan utama hidup adalah membantu orang lain.
Jika kamu tidak bisa membantu,
setidaknya jangan merugikan orang lain.

Dalai Lama XIV

Rabu, 21 April 2010

Kalyana Mitta

Kata Kalyana Mitta berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "Sahabat dalam Spiritual."
Apa arti Sahabat Spiritual?
Makna Kalyana Mitta melebihi arti sahabat dalam bersuka ria, tetapi merupakan sahabat pembimbing bahkan bisa juga merupakan peristiwa, benda, Seorang Guru, atau siapapun yang membantu kita menjadi lebih baik, dan lebih bijaksana dalam bersikap.

Seringkali, Sahabat Spiritual sudah ada di sekitar kita tanpa kita sadari. Mungkin karena sosok Sahabat Spiritual tak harus kelihatan gagah dan hebat seperti Gatotkaca atau Superman. Tapi kadang-kadang, sosok Kalyana Mitta ini justru hadir sebagai orang yang kita anggap remeh, seperti pembantu di rumah atau hal-hal yang tidak kita suka, seperti perasaan jengkel terkena lemparan bola teman tanpa disengaja.

Maka dari itu, menyadari sosok Kalyana Mitta bisa jadi adalah orang yang sederhana, bersikap baiklah pada setiap orang. Entah itu Orangtua, Guru, atau Pembantu.

Siapa tahu, mereka sebenarnya adalah Kalyana Mitta yang akan membawa kita menjadi orang tercerahkan seperti Guru Buddha, Guru luar biasa tiada bandingnya.


Sumber: MAMIT Edisi 01 tahun 2010.

Senin, 05 April 2010

Kebaikan Diri Sendiri dan Kebaikan Orang Lain

"Setetes Dhamma Sebongkah Berlian"

Empat jenis orang ini, O para bhikkhu, terdapat di dunia ini. Apakah yang empat itu?
Ada orang yang hidup untuk kebaikannya sendiri tetapi tidak untuk kebaikan yang lain;
orang yang hidup untuk kebaikan orang lain tetapi tidak untuk kebaikannya sendiri;
orang yang hidup tidak untuk kebaikannya sendiri dan tidak juga untuk kebaikan orang lain; dan
orang yang hidup untuk kebaikannya sendiri dan untuk kebaikan orang lain.

Dan para bhikkhu, bagaimana orang hidup untuk kebaikannya sendiri tetapi tidak untuk kebaikan orang lain?
Dia berlatih untuk menghilangkan nafsu, kebencian dan kebodohan batin di dalam dirinya, tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghapus nafsu kebencian, dan kebodohan batin. Dia sendiri menjauhkan diri dari membunuh, mencuri, perilaku seksual yang salah, ucapan yang tidak benar dan zat-zat yang bersifat racun, tetapi dia tidak mendorong orang lain untuk pengendalian seperti itu.

Dan para bhikkhu, bagaimana orang hidup untuk kebaikan orang lain tetapi tidak untuk kebaikannya sendiri?
Dia mendorong orang lain untuk menghilangkan nafsu, kebencian, dan kebodohan batin, tetapi dia sendiri tidak berlatih untuk menghapusnya. Dia mendorong orang lain untuk menjauhkan diri dari membunuh, mencuri, perilaku seksual yang salah, ucapan yang tidak benar dan zat-zat yang bersifat racun, tetapi dia sendiri tidak mempraktekkan pengendalian seperti itu.

Dan para bhikkhu, bagaimana orang hidup tidak untuk kebaikannya sendiri dan tidak juga untuk kebaikan orang lain?
Dia tidak berlatih untuk menghilangkan nafsu, kebencian, dan kebodohan batinnya sendiri, dan tidak juga dia mendorong orang lain untuk melakukan itu. Dia sendiri tidak berlatih untuk menjauhkan diri dari membunuh dan sebagainya, dan tidak juga dia mendorong orang lain untuk pengendalian seperti itu.

Dan para bhikkhu, bagaimana orang hidup untuk kebaikannya sendiri dan untuk kebaikan orang lain?
Dia sendiri berlatih untuk menghilangkan nafsu, kebencian, dan kebodohan batin, dan dia juga mendorong orang lain untuk melakukan itu. Dia sendiri berlatih menjauhkan diri dari membunuh dan sebagainya, dan dia juga mendorong orang lain untuk pengendalian seperti itu.

Angutara Nikaya IV, 96, 99.