Sabtu, 26 Januari 2013

Ujian bagi Seorang Calon Penasihat


Ada seekor burung elang yang mencuri sekerat daging dari tukang daging. Beberapa anak laki-laki yang melihat burung itu terbang membawa sekerat daging mengejar burung elang tersebut dan mencoba menakut-nakutinya. Tetapi burung itu terus terbang dan mengubah arah sehingga anak-anak itu tidak mengikutinya lagi.

Seorang pendeta yang memperhatikan kejadian ini berkata, “Ijinkan aku mencoba agar burung itu menjatuhkan dagingnya. Matanya terus mengawasi arah terbang burung itu. Ia berteriak dan bertepuk tangan dengan keras.

Suara tersebut mengganggu burung itu sehingga tanpa sadar dia melepaskan cengkeraman dagingnya karena takut. Pendeta yang melihat daging jatuh segera menangkapnya sebelum daging itu menyentuh tanah.

Berita tentang pendeta itu sampai ke telinga Raja Brahmadutta dan menteri, Senaka. Raja Brahmadutta kagum akan siasat pendeta itu dan ingin mengangkatnya sebagai penasihat, tetapi Senaka iri hati dan berusaha menyingkirkan pendeta ini dengan berpikir, “Aku akan segera kehilangan kemurahan hati raja. Aku harus melakukan sesuatu kepada pendeta ini.”

Lalu dia berkata kepada raja, “Marilah kita uji pendeta itu dan kita hadapkan ke sidang. Akal bulus kecil menakuti burung seperti itu tentu tidak dapat membuktikan apa-apa.” Raja setuju mengujinya agar lebih teliti memperhatikan pendeta itu.

Ujian pertama:

Seorang wanita tua yang miskin pergi mandi di sungai, dia mengenakan kalung simpul yang indah terbuat dari benang-benang beraneka warna yang dibuatnya sendiri. Seorang wanita muda yang melihat kalung indah ini melingkar di leher wanita tua itu ingin memilikinya. Lalu, perempuan itu, “Alangkah indahnya kalung buatanmu sendiri. Aku ingin memakainya sejenak, bolehkah?”

Wanita tua senang hatinya mendengar pujian ini dan berkata, “Tentu, kamu boleh memakainya untuk beberapa menit saja ketika aku sedang mandi. Alangkah senangnya kamu menyukai hasil karyaku.”

Wanita muda itu mengambil kalung dan segera berlari. Tidak jadi mandi, wanita tua yang miskin itu mengejarnya dan akhirnya dapat menangkap wanita muda itu. “Mengapa kamu tega mencuri kalungku?” tanyanya.

Wanita muda itu menjawab, “Alangkah beraninya kamu menyebutku sebagai seorang pencuri! Ini adalah kalungku dan aku tidak tahu apa maksudmu.” Orang banyak mulai mengelilingi mereka, ingin tahu apa yang sedang dipertengkarkan kedua wanita ini.

Pendeta yang berdiri dekat mereka datang menghampiri dan bertanya apa yang sedang dipertengkarkan oleh mereka. Lalu dia berkata, “Ijinkan wanita ini datang ke hadapanku dan aku akan mengetahui siapa yang berbicara benar.” Kedua wanita itu menyetujui hal ini.

Pertama, pendeta menanyai wanita muda itu, “Sudahkah kamu memakai parfum untuk membuat harum kalung ini?”

“Aku memakai wangi-wangian yang mahal. Namanya Subbasamharaka, yakni campuran dari semua wangi-wangian yang ada di pasar,” jawab wanita itu dengan sombong.

Pendeta lalu kembali kepada wanita miskin dan memberikan pertanyaan yang sama. Dia menjawab, “Pendeta, aku terlalu miskin untuk membeli wangi-wangian. Aku mengumpulkan beberapa bunga henna dan mewangikan kalungku dengan sari bunga-bunga henna itu.”

Pendeta memasukkan kalung itu ke dalam mangkuk yang berisi air dan memanggil ahli parfum untuk mencium harumnya bunga itu.

“Ini adalah harum bunga-bunga henna,” kata ahli parfum.

Wanita muda itu menjadi malu dan mengakui kebohongannya, lalu dikembalikannya kalung itu kepada yang berhak memilikinya, wanita tua tersebut.

Ujian kedua:

Ada seorang wanita yang telah melahirkan seorang bayi laki-laki tampan. Suatu hari dia meletakkan bayinya untuk tidur di sebelah danau sementara dia pergi mencuci muka. Lalu, datanglah seorang perempuan melihat bayi tampan itu dan menginginkannya. Perempuan itu bertanya, “Bolehkah aku bermain-main dengan anakmu? Dia sangat tampan!” Perempuan itu pura-pura bermain dengan bayi tersebut untuk beberapa waktu sambil menunggu saat yang tepat untuk membawa bayi itu kabur.

Ibu bayi segera lari mengejar dan menangkapnya. “Mau dibawa ke mana anakku?” teriaknya. “Apakah ini memang anakmu? Ini adalah anakku,” kata perempuan itu. Mereka bertengkar dengan sengitnya sehingga orang-orang berkerumun mengelilingi mereka dan mencoba menerka siapakah di antara mereka yang benar.

Salah satu dari orang-orang itu pergi ke pendeta dan menceritakan tentang pertengkaran itu. Pendeta itu mendatangi kedua wanita tersebut dan meminta mereka untuk menyetujui keputusannya. Kedua wanita itu setuju.

Pendeta menggambar sebuah garis di tanah dan meletakkan bayi itu di sana, sebagian dari tubuh bayi itu berada di salah satu sisi dan bagian lain berada di sisi yang berlawanan. Lalu, dia menyuruh perempuan itu untuk memegang kedua tangan anak itu dan ibu bayi memegang kakinya. “Sekarang,” katanya. “Jika aku memberi perintah, tariklah pada waktu yang bersamaan. Siapa yang berhasil menarik anak ini dari tempatnya masing-masing dengan utuh, dialah yang akan menerima anak ini.”

Kedua wanita itu mulai menarik hingga anak itu mulai menangis kesakitan. Ibu bayi segera melepaskan anak itu dan mulai menangis, sedangkan perempuan muda itu tertawa dan menarik bayi itu ke arahnya.

Sekarang pendeta memperhatikan orang-orang yang sedang berdiri menonton dan bertanya kepada mereka, “Katakan kepadaku, siapakah ibu yang sesungguhnya dari bayi ini?”

Mereka segera menunjuk ke wanita yang sedang menangis itu dan menjawab dengan satu kata, “Dialah ibu yang sesungguhnya karena dia tidak tahan melihat anaknya kesakitan.”

Ibu itu menggendong anaknya sambil memegang kaki pendeta dengan penuh rasa terima kasih, sedangkan perempuan jahat itu ditangkap pengawal kerajaan untuk dipenjara.

Ujian ketiga:

Senaka, menteri yang iri membuat ujian lain untuk pendeta itu. Dia membawa sebatang pohon akasia dan memotong sedikit batang pohon itu lalu diukurnya sejengkal dan dibulatkan sampai licin. Potongan itu demikian sempurna sehingga tidak memungkinkan seseorang dapat membedakan mana pangkal akar pohon itu.

Menteri Senaka mengeluarkan pengumuman, “Siapakah yang sanggup menyatakan mana yang pangkal akar dan bagian mana yang merupakan bagian atas dari pohon ini. Bila gagal menjawab, akan didenda berat!”

Tidak seorangpun yang sanggup memberi jawaban dengan tepat, lalu mereka memohon bantuan kepada pendeta. Dengan seksama, pendeta memperhatikan potongan kayu itu dan berpikir, “Persoalan ini dibuat hanya untuk menangkapku. Mereka menggunakan perangkap yang mana ujung dan pangkal akar dari batang pohon ini.”

Pendeta tersebut memegang potongan kayu tersebut lalu mengikat seutas tali di bagian tengahnya. Dia mengambil seember air dan memasukkan potongan kayu itu ke dalamnya kemudian memegang salah satu ujung tali di tangannya. Di bagian akar biasanya lebih berat daripada di bagian atas. Lalu, salah satu ujungnya akan tenggelam lebih dalam dari ujung lainnya.

“Yang mana lebih berat, ujung akar atau bagian atas pohon?” tanyanya.

“Ujung akar lebih berat,” jawab orang-orang itu.

Lalu pendeta itu berkata, “Jika demikian, itu adalah ujung akar pohon itu,” sambil menunjuk bagian potongan kayu yang tenggelam.

Ujian keempat:

Raja Varanasi mempunyai permata indah yang berlubang. Ada seutas benang di bagian tengah lubang itu dan tak seorang pun yang dapat mengeluarkannya. Dengan berbagai cara, tukang emas dan para ahli mencoba untuk mengeluarkannya, tetapi tidak ada yang berhasil. Lalu, pendeta itu dipanggil dan diserahkan tugas tersebut untuk menguji kepandaiannya.

Pendeta meminta sedikit madu dan menorehkan beberapa tetes madu di lubang tersebut lalu menaruh permata itu dekat sarang semut. Segera saja makhluk-makhluk kecil ini memasuki permata, mengisap madu di sepanjang benang yang terendam madu dan akhirnya semut-semut itu membawanya keluar dengan harapan dapat makan madu lagi.

Pendeta sanggup mengambil benang dari dalam permata itu dan menyerahkannya kepada raja. Raja sangat gembira dan ingin menunjuk pendeta itu sebagai penasihatnya. Tapi, Menteri Sanaka berkilah kepada raja untuk menunda bukti lebih lanjut akan kebijaksanaan pendeta.

Ujian kelima:

Untuk membingungkan sang pendeta, atas perintah Senaka, diumumkanlah sebuah pesan kepada orang-orang desa. Pesan itu berbunyi: “Raja ingin bermain ayunan di istana, namun tali yang ada sudah tercabik-cabik tak terpakai dan tak berguna lagi. Jadi, buatlah tali yang terbuat dari pasir. Bila kamu gagal membuatnya, kamu akan dihukum.”

Orang-orang desa tidak mengerti dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka memohon bantuan pendeta itu dan pendeta itu tahu bahwa tugas ini tak akan pernah bisa dilakukan. Dia memanggil orang-orang desa dan berkata kepada mereka untuk membuat beberapa pertanyaan yang sulit dijawab.

Mereka lalu menemui raja dan berkata, “Baginda, kami orang-orang desa ingin tahu tali pasir macam apakah yang Baginda butuhkan untuk bermain ayunan? Seberapa ketebalannya dan bagaimana mutunya? Maukah Baginda mengirim sedikit contoh tali pasir itu agar kami bisa membuatnya di rumah dan memperbanyaknya?”

“Aku tidak pernah memiliki seutas tali yang terbuat dari pasir, mana mungkin tali seperti itu dapat dibuat?” jawab raja.

Semua orang desa itu berkata, “Bila Baginda tidak dapat membuat tali seperti itu, bagaimana kami dapat membuatnya untuk Baginda?”

Akhirnya raja tahu bahwa itu adalah perkataan pendeta yang diajarkan kepada orang-orang desa untuk menangkis serangan balasan; raja menjadi bertambah senang atas kepandaian pendeta.

Ujian keenam:

Di kebun istana Varanasi ada sebuah danau. Di sebuah sudut dari danau itu tumbuh pohon palma. Di antara cabang-cabang pohon ini terdapat sarang seekor burung gagak. Bayangan sarang ini tampak di danau dan ketika para tukang kebun datang mengambil air danau, mereka tercengang melihat bayangan kalung indah di dalam air.

Para tukang kebun segera berkata kepada raja bahwa kalung permaisuri ada di dalam danau. Raja datang dan melihat bayangan kalung itu lalu memanggil semua pelayan untuk menguras air danau itu. Ketika danau kering, mereka mencari permata itu, namun tidak berhasil menemukannya, bahkan jejaknya pun tidak ada. Mereka menggali dasar danau itu lebih dalam, tapi kalung itu masih juga tidak tampak.

Berangsur-angsur air danau itu penuh kembali dan bayangan itu tampak jelas. Karena tidak memahami hal ini, raja memanggil pendeta dan berkata kepadanya, “Pendeta Yang Mulia, dapatkah kamu menarik kalung dari dalam danau itu dengan kekuatanmu?”

Pendeta lalu meminta sebuah ember, lalu mengisinya dengan air. Dan menempatkannya di mana bayangan itu berada. Permata itu tampak terapung di dalam air yang ada di dalam ember itu. Lalu dia memindahkan ember itu dan bayangan kalung itu tampak kembali di tempatnya semula di permukaan air danau itu.

Lalu, pendeta itu menunjuk ke arah pohon delima dan sarang burung gagak. “Yang Mulia, burung gagak telah membawa permata itu dan meletakkannya di dalam sarang. Tadi hanyalah bayangan dari kalung yang kita lihat di dalam air. Perintahkan seorang laki-laki untuk memanjat dan mengambil permata itu,” ujar pendeta itu kepada raja.

Akhirnya permata itu dibawa turun dari pohon dan diberikan kepada raja. Setiap orang kagum akan kebijaksanaan pendeta itu dan raja menunjuknya sebagai penasihatnya.



Sumber:
Cerita Rakyat Buddhis
Oleh: Visalakshi Johri
Penerbit Dian Dharma
2009