Dahulu kala, Bodhisattva terlahir sebagai seekor anak burung puyuh. Saat ia masih kecil, induknya berupaya keras membawa makanan ke sarang, dan memberi makan dengan paruh mereka.
Setiap tahun, bila musim kemarau tiba, tanpa diduga terjadi kebakaran hutan di beberapa bagian dunia. Kisah ini dimulai dari api yang mulai meletup menyala di ilalang yang kering, dan begitu nampak asap mengepul, semua burung terbang menjauh. Namun ada sekor induk anak burung puyuh yang tetap bersikukuh tinggal menemani anaknya, meski api mulai membesar.
"Oh anakku, bagaimana nasib kita ini? Sebentar lagi api akan membakar sarang kita dan akhirnya akan melahap kita juga," keluh si induk burung. Si anak burung puyuh hanya bisa menciap-ciap melihat kegelisaham induknya. Bagaimanapun, demi penyelamatan nyawa mereka sendiri seharusnya mereka sudah terbang ketika api mulai mendekati sarang mereka.
Semua pohon besar dan kecil, terbakar meletup-letup dengan hebatnya, apalagi dibarengi dengan angin kencang. Anak burung ini melihat semua isi hutan telah hangus terbakar oleh api yang sangat dahsyat tak terkendalikan. Saat itu ia merasa tidak berdaya menyelamatkan dirinya sendiri.
"Oh ibu, aku tahu engkau sungguh menyayangiku, namun engkau tidak dapat membawaku terbang bersamamu, cepat tinggalkan aku sendirian," pinta si anak burung puyuh.
"Tidak anakku, engkau adalah belahan jiwaku," jawab si induk burung puyuh.
"Cepat tinggalkan aku, ibu. Aku percaya akan cintamu pada anakmu ini, namun engkau harus mengerti bahwa tubuhmu yang kecil tidak kuat membawaku terbang. Cepatlah pergi, huk..huk..huk.. api sudah menjalar ke pohon ini," kata si anak burung puyuh itu terbatuk-batuk karena asap tebal dan pengap itu.
Akhirnya dengan terpaksa si induk burung terbang menjauh dengan berat hati. Berkali-kali ia menengok ke belakang, dan air matanya menetes tanpa tertahankan, hatinya pilu melihat anaknya tak berdaya melawan maut yang segera akan merenggut jiwanya.
Seketika si anak burung teringat betapa besar cinta induknya.
"Mereka telah membuatkan sarang untukku dengan penuh cinta, setiap hari mereka memberiku makan tanpa mempedulikan diri mereka yang juga lapar. Ketika api mulai menjalar, mereka tetap tinggal bersamaku hingga saat-saat terakhir. Padahal semua burung yang dapat terbang telah pergi menjauh terlebih dahulu."
"Begitu besar cinta kasih indukku, mereka tetap bersamaku dengan mengambil resiko atas nyawa mereka. Mereka tidak dapat menyelamatkanku, karena mereka tidak dapat membawaku terbang, dan terpaksa meninggalkanku sendiri tanpa daya. Dari lubuk hati yang terdalam, aku berterima kasih atas cintanya yang begitu besar kepadaku tanpa peduli di mana mereka berada. Aku berharap mereka akan selamat, baik dan bahagia," demikian anak burung puyuh merenungi kebajikan induknya.
"Sekarang aku sendiri. Tiada yang dapat aku mintakan pertolongan. Aku mempunyai sayap, tetapi aku belum dapat terbang. Aku mempunyai kaki, tetapi belum dapat berlari. Namun aku masih dapat berpikir. Aku dapat menggunakan pikiranku - suatu pikiranyang tetap murni. Satu-satunya makhluk hidup yang aku tahu dalam hidupku yang singkat adalah indukku, dan pikiranku telah dipenuhi dengan cinta kasih terhadap mereka. Sebagaimana aku belum pernah melakukan suatu kebajikan terhadap yang lain, aku memenuhinya dengan kesucian dan keadaan tidak bersalah dari makhluk yang baru lahir."
Tiba-tiba, suatu keajaiban yang luar biasa terjadi. Kesucian dan keadaan yang tidak bersalah tumbuh dan berkembang hingga anak burung itu menjadi lebih besar dari sebelumnya. Pengetahuan kebenaran menyebar melebihi satu periode kehidupan, dan semuanya tiba-tiba, anak burung puyuh mengetahui banyak tentang kelahiran-kelahiran sebelumnya. Dalam kelahiran sebelumnya, ia mengenal Buddha, yang maha sempurna dalam Kebenaran - seseorang yang memiliki kekuatan dari Kebenaran, kemurnian dari kebajikan, dan tujuan welas asih (karuna).
"Semoga keadaan tanpa bersalah dari makhluk yang sangat muda ini dapat bersatu dengan kemurnian kebajikan masa lampau dan kekuatan Kebenaran. Semoga semua burung dan makhluk hidup lainnya, yang masih terperangkap oleh api ini, bisa selamat. Dan semoga tempat ini selamat dari api selama sejuta tahun!" doa si anak burung puyuh kecil ini dengan penuh welas asih.
Ajaib sekali, semua renungan dan doa si anak burung puyuh seolah terdengar oleh para Dewa. Tak terkecuali Raja Sakka menggerakkan kumpulan awan di langit dan suatu mujizat terjadi. Pikiran yang murni, tumpukan kebajikan masa lampau si anak burung puyuh dan welas asihnya mengalahkan api yang membakar hutan itu. Tiba-tiba, hujan deras turun membasahi hutan tersebut dan memadamkan api yang begitu dahsyat dan telah memporak-porandakan semua isi hutan.
Anak burung puyuh itu beserta hewan-hewan lemah yang tersisa akhirnya selamat, berkat keyakinan kuat si anak burung puyuh kepada Buddha. Demikian seterusnya hutan tersebut tidak pernah terjamah lagi oleh api sampai sejuta tahun kemudian.
Demikianlah kisah itu terjadi.
Pesan moral dalam cerita ini adalah:
"Kebenaran, kebajikan dan welas asih
orang yang menjalankan ajaran Buddha
dapat menyelamatkan dunia."
"Kebenaran, kebajikan dan welas asih
orang yang menjalankan ajaran Buddha
dapat menyelamatkan dunia."
Sumber:
Anak Burung Puyuh yang Tak Dapat Terbang
Penerbit Dian Dharma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar