Sabtu, 20 April 2013

Perkataan Benar

Dhammadesana oleh: Bapak Hendra Wijaya
Tanggal: 14 April 2013
Tempat: Vihara Dharmakirti

Buddha bukan hanya mengajarkan jangan berkata dusta, tapi juga perkataan benar.

Perkataan benar ada 4 hal:
- tidak berkata dusta
- jangan berkata kasar
- tidak berkata fitnah
- tidak bergosip (omongan sampah)

Kenapa di Pancasila Buddhis hanya disebutkan tidak berkata dusta?
Karena itu adalah yang paling sulit. Orang bisa berkata halus, tapi isinya bohong. Kalau perkataan kasar itu pasti perkataan tidak benar. Fitnah, itu sudah pasti bohong. Tidak bergosip juga adalah bohong.

Ajaran Buddha kepada Rahula:
"Demikianlah Rahula seharusnya engkau melatih diri, aku tak akan berkata bohong sekalipun dalam canda."

Ada orang bilang, "Mulutnya ini kasar tapi hatinya baik."
Benarkah pernyataan itu?
Mulut kasar, pada saat ia teriak-teriak pasti hatinya tak baik, ini menurut standar Buddha.

Dalam mendidik anak jangan sampai memaki-maki. Kata Buddha, jangan menyakiti anak seperti itu. Buddha tidak pernah membentak. Jika ada orang salah, berkatalah dengan damai, penuh kasih sayang. Itu standar Buddha.

Menghindari perkataan kosong. Perkataan kosong (sampah) maksudnya yaitu kata-kata tak bermanfaat secara spiritual. Contoh: kata-kata mengenai raja (pemimpin negara), kata-kata tentang mencoleng (copet), kata-kata tentang para mentri, tentang tentara, perang, tentang makan dan minum, tentang kota, daerah, tentang perempuan, pahlawan, asal mula semesta.

Pada jaman dulu banyak pelawak yang menghibur org. Ada yang percaya bahwa pelawak sesudah meninggal bisa terlahir menjadi dewa. Kata Buddha: "Orang-orang yang suka menghibur orang lain dengan kata-kata sampah yang kata-katanya berdasarkan lobha, dosa, moha, maka ketika orang tersebut mati ia akan lahir di neraka tawa. Dan, orang-orang yang percaya pada orang pelawak ini, ia akan terlahir di alam sengsara juga.

Bagaimana cara berbicara yang benar?
1. Jika suatu perkataan tidak benar, tidak bermanfaat dan tidak menyenangkan, maka jangan ngomong.
2. Kalau benar tapi tak bermanfaat dan tidak menyenangkan, jangan ngomong.
3. Kalau benar dan bermanfaat, tapi tidak menyenangkan, maka cari waktu yang tepat.
4. Kalau tidak benar, tidak bermanfaat, tapi menyenangkan, jangan ngomong.
5. Kalau tidak benar, bermanfaat, menyenangkan, jangan ngomong.
6. Kalau benar, bermanfaat, menyenangkan, silakan ngomong tapi cari waktu yang tepat.

Kesimpulan: kita patut ngomong kalau perkataan itu benar dan bermanfaat. Menyenangkan atau tidak, itu urusan nanti.

Contoh: jika pegawai malas, kita omongin di depan umum, itu tidak boleh walau benar dan bermanfaat. Yang bagusnya: cari waktu yang tepat untuk ngomong, jangan memarahi di depan umum. Ajak pegawai bicara di ruang khusus.

Menurut Ajahn Brahm, sebelum ngomong tanya 3 pertanyaan pada diri sendiri:
1. Apakah saya perlu ngomong? Apakah perlu diomongkan? Penting nggak?
2. Apakah ini benar-benar penting sekali?
3. Apakah ini benar-benar sangat penting sekali?

Apa yang keluar dari mulut kita, jauh lebih penting daripada apa yang masuk.
~Ajahn Brahm
Maksudnya ucapan kita seharusnya penuh damai dan kasih sayang.

Seandainya kita sudah baik hati dan berucap benar tapi lalu dihina orang, bagaimana sikap kita seharusnya?
Buddha berkata ada resepnya:
1. Menumbuhkan kasih sayang pada orang itu.
2. Menumbuhkan kewelasan
3. Dengan ketenangan dan keseimbangan diri.
4. Tidak menghiraukan orang tersebut.
5. Baca paritta. Sabbe satta kamayoni, kamabandhu. Jika dia berbuat salah, dia terima sendiri akibatnya.

Yang berbahaya itu reaksi kita.

Menurut Buddha, perkataan itu tidak terlalu penting. Kisahnya ada di Dhammapada 259.
Karena, biarpun kata-kata itu sedikit, tapi memancarkan kasih sayang, maka itu lebih baik daripada kata-kata yang panjang lebar tapi tidak ada kasih sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar