Selasa, 08 Maret 2011

Pendeta dan Gerombolan Penculik

Kisah tentang Kekuasaan dan Ketamakan

Dahulu kala di Benares ada seorang raja yang bernama Brahmadata. Di salah satu perkampungan terpencil dalam kekuasaan raja Brahmadata hiduplah seorang pendeta yang memiliki kekuatan ajaib. Ia mengetahui mantera ajaib yang diwariskan secara rahasia oleh gurunya.

Tetapi, mantera ini hanya dapat digunakan setahun sekali ketika planet-planet berderet dalam suatu cara tertentu. Hanya saat itulah mantera itu dapat bekerja di mana si pendeta mengunjarkan kata-kata rahasia ajaib ke dalam telapak tangannya yang terbuka, melihat ke langit, dan menepukkan tangannya. Maka turunlah hujan permata yang sangat berharga kepadanya.

Saat itu pendeta tersebut memiliki seorang murid yang sangat baik. Ia sangat cerdas dan mampu memahami pemikiran-pemikiran yang tersuit. Ia juga sangat patuh dan setia, selalu berkeinginan menghormati dan melindungi gurunya.

Suatu hari pendeta ini akan melakukan perjalanan ke perkampungan yang jauh untuk melakukan pengorbanan hewan. Karena ia harus menempuh jalan berbahaya, murid yang baik ini mendampinginya.

Di sepanjang jalan, bersembunyilah gerombolan lima ratus penjahat yang dikenal sebagai 'Gerombolan Penculik'. Mereka menangkap orang-orang dan meminta tebusan sebagai penukar nyawa orang yang diculik. Celakanya, pendeta dan murid yang baik ini tertangkap oleh Gerombolan Penculik tersebut. Mereka menginginkan tebusan sejumlah lima ribu koin emas untuk ditukar dengan nyawa dan kebebasan si pendeta. Lalu mereka membebaskan si murid untuk mengambil uang tersebut.

Sebelum berangkat, murid ini berlutut di hadapan gurunya dan membungkuk dengan penuh hormat. "Oh Guru, malam ini adalah malam di mana planet-planet akan berderet dengan sempurna dan manteramu dapat bekerja," kata si murid dengan berbisik agar para penjahat tidak mendengarnya. "Tetapi, aku harus mengingatkanmu, Guruku tersayang dan terhormat bahwa menggunakan kekuatan ini untuk menyelamatkan hidupmu dari orang-orang tamak ini akan sangat berbahaya. Memperoleh kekayaan dengan begitu mudah akan membawa mereka pada kehancuran. Jika engkau hanya memikirkan keselamatan dirimu sendiri dan membawa kemalangan bagi mereka, itu juga akan membahayakan dirimu."

"Oleh karena itu, Guruku, jangan gunakan mantera permata itu malam ini. Biarlah malam yang sungguh berharga ini berlalu untuk tahun ini. Bahkan, jika para penjahat melukaimu, percayalah kepada muridmu yang setia ini akan menyelamatkanmu, tanpa menambah bahaya bagi dirimu." Setelah berkata demikian, lalu ia pergi.

Malam itu, para penculik mengikat pendeta itu dengan ketat dan membiarkannya berada di luar gua sepanjang malam serta tidak memberinya makan dan minum.

Ketika bulan tampak dan pendeta melihat barisan planet-planet, ia berpikir, "Mengapa aku harus sangat menderita? Aku dapat menggunakan sihir untuk membayar tebusanku sendiri. Mengapa aku harus peduli dengan bahaya yang akan terjadi kepada lima ratus penculik ini? Aku seorang pendeta dengan kekuatan ajaib. Hidupku jauh lebih berharga dibandingkan mereka. Aku peduli hanya kepada hidupku. Di samping itu, kesempatan ini hanya datang sekali dalam setahun. Aku tidak dapat menyia-nyiakan kesempatan untuk menggunakan kekuatanku yang luar biasa."

Memutuskan untuk mengabaikan nasihat muridnya, ia memanggil para penculik, "Oh, kalian para pemberani dan perkasa, mengapa kalian mengikat dan membuatku menderita demikian?"

"Oh, pendeta yang suci, kami membutuhkan uang. Kami mempunyai begitu banyak mulut untuk diberi makan. Kami harus punya uang dalam jumlah yang banyak," jawab mereka.

"Aha, kalian melakukan ini untuk uang? Apakah hanya itu yang kalian inginkan? Baik, aku akan menjadikan kalian sangat kaya sehingga melampaui impianmu yang terdahsyat. Karena aku agung dan penuh daya. Sebagai seorang pendeta suci, kamu dapat mempercayaiku. Kalian harus melepaskan ikatanku, membersihkan kepala dan mukaku, mengenakanku pakaian baru, dan mengalungiku dengan rangkaian bunga. Kemudian, setelah menghormatiku, tinggalkan aku dalam kesendirian untuk melakukan keajaiban."

Para penculik mengikuti perintahnya. Namun, mereka tidak percaya kepadanya dan enggan membiarkannya sendirian. Lalu mereka bersembunyi dalam semak-semak dan mengamatinya diam-diam.

Mereka memperhatikan perilaku si pendeta yang tengah melihat ke arah langit, menundukkan kepala dan menggumamkan mantera ajaib ke dalam tangannya. Suaranya terdengar tanpa dapat dipahami. Mantera itu terdengar seperti ini, "Nah Wah Shed-nath. Eel Neeah Med-rak. Goh Bah Mil-neeay."

Kemudian ia menatap ke langit dan menepukkan kedua tangannya. Tiba-tiba, langit menghujaninya dengan permata-permata terindah.

Gerombolan Penculik ini keluar dari persembunyian dan mengambil semua batu-batu berharga itu. Mereka membungkusnya dalam kain dan pergi dengan membawa pendeta itu di belakang.

Dalam perjalanan, mereka dihentikan oleh gerombolan lima ratus perampok lain. "Kenapa kalian menghentikan kami?" tanya para penculik. "Berikan semua harta kalian!" perintah gerombolan lain itu.

"Tinggalkan kami. Kalian dapat memperoleh semua kekayaan yang kalian inginkan dari pendeta ini, seperti yang kami lakukan. Dia mengetahui keajaiban. Dia hanya perlu menggumamkan beberapa kata ajaib, melihat ke atas langit, menepukkan tangannya, dan permata-permata yang paling menakjubkan akan berjatuhan."

Para perampok membiarkan Gerombolan Penculik pergi dan mengelilingi pendeta itu. Mereka memerintahkannya melakukan keajaiban sekali lagi untuk mereka.

"Tentu saja, aku dapat memberikan semua permata yang kalian inginkan. Tetapi, kalian harus bersabar dan menunggu hingga setahun. Waktu yang berharga, di mana planet-planet berderet, telah berlalu. Ini tidak akan terjadi lagi hingga tahun depan. Datang dan temuilah aku kemudian, dengan senang hati aku akan menjadikan kalian kaya raya!"

Para perampok ini bukanlah tipe orang penyabar. Mereka menjadi sangat marah. "Hai, Pendeta Penipu, kamu hendak menipu kami, ya! Kamu menjadikan Gerombolan Penculik kaya raya dan sekarang kamu menolak melakukan hal yang sama untuk kami. Kami akan memberimu pelajaran karena telah meremehkan kami!" teriak mereka kepadanya. Lalu mereka memotong pendeta itu menjadi dua bagian dengan pedang yang tajam dan membiarkan kedua bagian tubuh itu tergeletak di tengah jalan.

Para perampok mengejar Gerombolan Penculik sehingga terjadi peperangan berdarah yang mengerikan. Setelah beberapa jam berlalu, para perampok itu membunuh seluruh penculik dan mengambil permata-permata yang menakjubkan itu.

Segera setelah mereka meninggalkan tempat pertempuran itu, kelima ratus perampok mulai bertengkar atas kekayaan itu. Terpecah menjadi dua kelompok yang saling bersaing, masing-masing terdiri dari 250 orang, lalu mereka melakukan pertempuran berdarah lainnya, hingga hanya tinggal dua orang yang masih hidup, satu orang dari masing-masig kelompok.

Dua orang ini mengambil semua permata berharga dan menyembunyikannya di dalam hutan. Karena mereka sangat lapar, salah seorang menjaga harta karun itu dan yang lain mulai memasak.

"Ketika dia selesai memasak, aku akan membunuhnya dan mengambil semua harta ini untuk diriku sendiri," pikir yang sedang menjaga permata itu.

Namun, saat itu yang sedang memasak juga berpikir, "Jika aku membagi permata-permata ini dengannya, bagianku akan berkurang. Karena itu, aku akan meracuni makanannya, membunuhnya, dan mengambil semua permata untuk diriku sendiri. Mengapa harus berbagi jika aku dapat memiliki semuanya?"

Karena kelaparan, yang memasak memakan sebagian nasi dan meracuni sisanya. Kemudian, ia membawa panci nasi itu dan menawarkannya kepada perampok lain itu. Perampok itu dengan segera mengayunkan pedangnya dan memotong kepala perampok yang membawa panci nasi.

Kemudian ia mulai memakan nasi beracun itu. Tidak lebih dari semenit, ia terjatuh dan mati di tempat itu juga.

Beberapa hari kemudian murid yang baik kembali dengan uang tebusan. Ia tidak dapat menemukan gurunya ataupun Gerombolan Penculik. Sebaliknya, ia hanya menemukan berbagai barang tidak berharga yang ditinggalkan para penculik setelah memiliki permata.

Lalu ia melanjutkan perjalanan kembali dan menemukan suatu pemandangan yang mengerikan dari tubuh gurunya yang telah mati. Menyadari bahwa gurunya telah mengabaikan peringatannya, ia meratapi kematian gurunya yang mengerikan itu. Kemudian ia membangun tempat pembakaran dari kayu, menutupinya dengan bunga-bunga hutan, dan memperabukan tubuh guru yang dihormatinya itu.

Tidak begitu jauh dari jalan, murid yang baik itu juga menjumpai lima ratus mayat dari Gerombolan Penculik. Lebih jau lagi, ia melihat 498 mayat penuh darah dari para perampok yang mati, dan dua pasang jejak kaki menuju hutan. Ia curiga bahwa dua orang terakhir itu mungkin juga bertengkar terhadap harta itu. Ia mengikuti jejak kaki itu hingga ia menemukan bungkusan permata-permata berharga dan dua mayat -salah satunya jatuh di depan panci nasi dan yang lain dengan kepala terpenggal. Ia segera mengetahui apa yang telah terjadi.

"Ini sangat menyedihkan. Guruku yang memiliki pengetahuan menakjubkan, tetapi tidak cukup memiliki kebijaksanaan. Dia tidak dapat menahan diri dari menggunakan kekuatan ajaibnya, tanpa peduli akan akibatnya. Dengan menyebabkan kematian terhadap seribu penjahat yang tamak, dia juga merugikan dirinya sendiri," pikirnya.

Murid yang baik ini mengambil harta tersebut dan kembali ke kampung dan menggunakannya dengan murah hati untuk kebaikan banyak orang.


Pesan moral:
"Ketika kekuatan tidak dipadani dengan hati nurani dan keserakahan tiada batas, maka pembunuhan juga tiada akhir."




Sumber: Ketamakan dan Kemurah-hatian, Penerbit Dian Dharma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar