Jumat, 25 Maret 2011

Bebas Dari Kesalahan

Oleh: Bhante Saddhaviro Mahathera

Buku "Cerita Tekad Orang Nekad"

"Melihat kesalahan orang lain itu tidak salah;
Tetapi menyalahkan orang lain,
Itulah yang menjadi proses perbuatan salah;
Jika orang lain salah,
Sebaiknya jangan ikut berbuat salah dengan menyalahkan,
Pahami kesalahan sebagai kesalahan,
Jangan kesalahan menjadi sebab perbuatan salah lagi"...

Dari perenungan di atas, harus dibedakan antara melihat kesalahan orang dan mencari-cari kesalahan orang. Mencari kesalahan mempunyai unsur upaya. Ada kemungkinan terjadi, meski tidak ada kesalahanpun, akan dibuat menjadi salah. Berbeda dengan melihat kesalahan orang, di sini tidak ada upaya mencari, jadi tidak ada unsur kesengajaan. Namun, karena manusia belum sempurna, bisa berbuat salah.

Ketika mencari kesalahan orang lain maka sudah memulai perbuatan salah. Akan terlihat lebih jelas lagi jika menyalahkan orang lain yang tidak bersalah. Seandainya ada orang yang salah, tidak perlu disalahkan. Yang terbaik adalah menunjukkan kesalahannya dengan cara yang baik, sehingga tidak berbuat salah dari kesalahan orang lain. Apakah mungkin semua orang mampu beternak? Jawabannya, "tidak mungkin...!"

Tetapi sangat sulit untuk mencari orang yang tidak beternak kesalahan, dengan menyalahkan orang lain. Ini diawali oleh pola pikir bahwa menyalahkan orang adalah wajar dan baik.

Coba renungkan contoh ini.

Bila ada seorang pencopet yang kedapatan tangan sedang beraksi, apa yang dilakukan warga?
Jawabannya: tanpa disuruh pun warga akan "mengeroyoknya."
Ada yang memukul, menendang, mencaci, menjelek-jelekkan, dan semua tindakan menghakimi.
Pertanyaannya, apa menyadari bahwa mengeroyok, memukul, menendang, mencaci, menjelek-jelekkan copet itu perbuatan salah???

Mereka akan menjawab, "Copetnya yang salah."

Ini pembelajaran yang sangat berharga bagi kita. Manusia itu sangat mudah melihat kesalahan orang lain, tetapi sulit melihat kesalahannya sendiri. Pepatah mengatakan, "Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak terlihat." Perumpamaan ini sungguh tepat.

Manusia memang senang melihat kesalahan orang lain. Padahal itu cara yang salah, sehingga membuat dirinya berbuat salah. Hanya mereka yang melihat kesalahan sebagai kesalahan tanpa menyalahkan orang yang berbuat salah, malah menunjukkan kesalahan demi kebaikan, dialah orang yang tidak akan berbuat salah dengan menyalahkan.




Sumber: Kisah Buddhis Grup

Rabu, 09 Maret 2011

Kutukan Mitavinda

Bagian 1. Iri Hati

Pada suatu masa ada seorang biksu yang tinggal di wihara sederhana di sebuah desa kecil. Ia sungguh beruntung karena seorang lelaki kaya di desa itu menyokongnya di wihara tersebut. Ia tidak pernah khawatir akan hal-hal duniawi. Dana makanan selalu disediakan oleh lelaki kaya itu.

Biksu tersebut selalu tenang dan penuh kedamaian karena ia tidak pernah memiliki keinginan berlebih atas kenyamanan dan kesenangan duniawi, tidak juga perlu khawatir akan kehilangan kenyamanan dan makanan sehari-harinya. Ia bebas menghabiskan waktu mempraktikkan winaya kebiksuan - melakukan kebajikan dan pengendalian diri, namun ia tidak menyadari akan keberuntungan dirinya.

Suatu hari seorang biksu senior datang ke desa itu. Ia telah menempuh Jalan Kebenaran dan berusaha mencapai kesempurnaan batin tanpa kesalahan.

Ketika lelaki kaya itu melihat biksu baru ini, ia sangat terkesan akan perilakunya yang lembut dan tenang. Lalu, ia mengundangnya ke rumah dan memberinya dana makanan. Lelaki kaya merasa sangat beruntung memperoleh ajaran singkat dari beliau. Setelah itu, ia mengundang beliau untuk tinggal di wihara desa itu. "Aku nanti akan mengunjungi Anda di wihara pada malam hari untuk memastikan semuanya baik-baik saja," katanya.

Ketika biksu yang lebih tua itu tiba di wihara, ia bertemu dengan biksu desa. Mereka saling menyapa dengan hangat. "Sudahkah Anda makan siang hari ini?" tanya biksu desa. "Sudah, pendukung wihara ini telah menawarkanku makan siang. Ia juga mengundangku untuk tinggal di sini," jawabnya.

Kemudian, biksu desa ini mengantarnya ke sebuah ruang dan meninggalkannya di sana. Biksu yang sempurna ini melewatkan waktunya dengan meditasi.

Pada malam hari lelaki kaya itu datang. Ia membawa minuman buah-buahan, bunga-bunga dan minyak lampu untuk menghormati kunjungan biksu suci. "Di mana tamu kita?" tanyanya kepada biksu desa. Lalu, ditunjukkannya ruangan biksu suci berada dan lelaki itu menuju ke sana. Ia membungkuk penuh hormat dan menyapa biksu yang sempurna itu. Sekali lagi, ia sangat berterima kasih kepada biksu yang langka dan tanpa cela karena memberinya ajaran lanjutan tentang Kebenaran.

Karena malam telah tiba, lelaki kaya itu menyalakan lampu-lampu dan mempersembahkan bunga-bunga di altar suci yang indah di wihara itu. Ia juga mengundang kedua biksu tersebut untuk makan siang di rumahnya esok hari. Kemudian ia meninggalkan wihara dan pulang ke rumahnya.

Pada malam itu sebuah kejadian yang mengerikan terjadi. Biksu desa ini, yang selalu penuh ketenangan, telah membiarkan racun iri hati merayap ke dalam pikirannya. "Lelaki kaya ini menyediakan tempat bernaung bagiku dan memenuhi perutku sekali sehari. Tetapi, aku takut ini akan berubah karena ia begitu menghormati biksu baru ini. Jika biksu baru ini menetap di wihara ini, pendukungku akan berhenti merawatku secara keseluruhan. Sebab itu, aku harus memastikan biksu baru ini tidak menetap."

Dengan pikiran-pikiran ini, ia telah kehilangan kedamaiannya. Karena iri hati dan takut kehilangan makanan serta tempat bernaungnya, pikirannya menjadi terganggu dan ia mulai membenci biksu yang sempurna itu. Ia mulai merencanakan cara untuk mengenyahkannya.

Ketika malam telah larut, sebagaimana kebiasaan pada masa itu, para biksu bertemu untuk mengakhiri hari tersebut. Biksu yang bijak berbicara dengan kebiasaannya yang penuh keramahtamahan, namun biksu desa ini tidak bicara sepatah kata pun kepadanya.

Biksu bijak itu paham bahwa ia sedang iri hati dan penuh kedengkian. "Biksu ini tidak memahami kebebasanku dari kemelekatan terhadap keluarga, orang-orang, dan kenyamanan duniawi. Aku telah terbebas dari setiap keinginan menetap di sini, tetapi aku juga telah terbebas dari setiap keinginan untuk pergi dari sini. Bagiku hal itu tiada berbeda. Sungguh menyedihkan biksu ini yang tidak memahami ketidak-melekatan. Aku bersimpati kepadanya atas akibat ketidak-tahuannya."

Beliau kembali ke ruangannya, menutup pintu, dan bermeditasi dalam keadaan mental yang tinggi sepanjang malam itu.

Keesokan harinya, ketika tiba waktunya untuk menerima persembahan makanan dari pendukung wihara, biksu desa ini membunyikan gong wihara. Namun, ia membunyikannya hanya dengan jentikan kuku jari perlahan-lahan. Bahkan, burung-burung di halaman wihara pun tidak dapat mendengar suara yang sedemikian kecil itu.

Kemudian, ia pergi ke ruangan biksu yang lebih tua itu dan mengetuk pintu. Sekali lagi, ia hanya menyentuh pintu dengan kuku jari secara perlahan. Bahkan, tikus kecil di dalam dinding pun tidak dapat mendengar ketukan yang sedemikian perlahan itu.

Setelah melakukan kewajiban yang diperlukan dengan cara yang penuh tipu daya, ia berangkat ke rumah lelaki kaya tersebut. Lelaki itu membungkuk dengan penuh hormat kepada biksu desa ini dan mengambil mangkuk dananya samil bertanya, "Di mana tamu kita?"

Aku belum melihatnya. Aku telah membunyikan bel dan mengetuk pintunya, tetapi dia tidak muncul. Mungkin dia tidak terbiasa dengan makanan enak yang kamu berikan kepadanya kemarin. Mungkin dia masih terlelap, susah payah mencerna makanan, memimpikan makan besar berikutnya," jawab biksu desa ini.

Saat itu di wihara, biksu bijak telah bangun. Beliau telah membersihkan diri dan memakai jubahnya, lalu dengan tenang meninggalkan wihara itu untuk berpindapata.

Lelaki kaya mempersembahkan makanan terenak kepada biksu desa. Terbuat dari nasi, susu, mentega, gula, dan madu; makanan itu begitu enak dan manis. Ketika biksu ini selesai memakan makanannya, lelaki itu mengambil mangkuknya, membersihkannya hingga bersih, dan membilasnya dengan air yang wangi. Ia kemudian memenuhinya hingga penuh dengan makanan menakjubkan yang sama, dan mempersembahkan kembali kepada biksu tersebut sambil berkata, "Biksu yang mulia, tamu kita yang suci pasti kelelahan akibat perjalanannya. Tolong bawakan persembahanku yang penuh kerendahan hati ini kepada beliau." Tanpa berkata apa-apa, biksu desa menerima persembahan yang murah hati itu untuk biksu yang sempurna tersebut.

Saat ini pikiran biksu desa telah terjerat oleh rencana yang penuh iri hati. "Jika biksu itu makan makanan yang luar biasa ini, bahkan jika aku menarik leher dan menendangnya keluar, dia tidak akan pergi. Aku harus mengenyahkan makanan persembahan ini diam-diam. Tetapi, aku tidak dapat memberikannya kepada orang asing agar ini tidak ketahuan dan dibicarakan. Ak tidak dapat membuangnya ke kolam karena mentega akan mengambang di permukaan air dan tampak. Dan jika aku membuangnya di tanah, burung-burung gagak akan datang dari kejauhan untuk memakannya. Orang-orang akan memperhatikan hal ini juga. Jadi bagaimana aku dapat membuangnya?" ia memikirkannya dengan sungguh-sungguh.

Tiba-tiba ia melihat sebuah ladang yang baru saja dibakar oleh petani untuk membuka lahan. Ladang itu tertutup oleh bara yang panas terbakar. Ia melemparkan persembahan lelaki kaya itu ke atas bara api dan persembahan makanan itu terbakar tanpa sisa. Tetapi, dengan perbuatan ini kedamaian pikirannya juga hilang.

Ketika ia kembali ke wihara, ia menemukan bahwa tamu itu telah pergi. "Beliau pasti seorang biksu bijaksana yang sempurna, yang menyadari bahwa aku iri hati, dan benci kepadanya, serta takut kehilangan keadaanku yang menguntungkan. Beliau pasti sudah mengetahui bahwa aku telah berusaha membuatnya pergi. Aku bahkan telah membuang persembahan makanan untuknya demi menjaga agar perutku tetap terisi. Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi kepadaku. Apa yang telah aku lakukan?"

Selama sisa hidupnya, lelaki kaya itu tetap mendukung biksu desa. Namun, pikiran biksu itu telah dipenuhi dengan kesengsaraan dan penderitaan. Ia merasa merana seperti hantu kelaparan yang berjalan-jalan atau hantu kelaparan yang hidup.

Ketika ia meninggal, penderitaannya berlanjut. Ia terlahir di alam neraka di mana ia menderita selama ratusan ribu tahun. Tetapi, akibat dari tindakan tidak bajik masa lalunya itu, hal ini hanya separuhnya selesai. Ketika hidupnya sebagai makhluk neraka berakhir, ia terlahir sebagai hantu sampai lima ratus kali.

Dalam lima ratus kehidupan itu, hanya ada satu hari di mana ia makan dengan cukup dan itu adalah makanan yang dijatuhkan oleh seekor rusa yang baru melahirkan di hutan.

Setelah lima ratus kehidupan sebagai hantu, ia terlahir sebagai anjing liar yang kelaparan untuk lima ratus tahun kehidupan berikutnya yang penuh kelaparan, kegelisahan, dan pencarian makan. Ia hanya sekali cukup makan dan itu adalah makanan muntahan yang ia temukan di got.

Akhirnya, ketika akibat perbuatannya telah selesai dijalani, ia cukup beruntung terlahir sebagai manusia. Namun demikian, ia terlahir di dalam keluarga pemngemis termiskin di kota Kasi, Iandia Utara, da diberi nama Mitavinda.

Sejak kelahirannya, keluarga miskin ini menjadi lebih buruk dan sengsara. Derita kelaparan menjadi begitu hebat sampai beberapa tahun kemudian orang tuanya membuang dia. "Kamu bukan siapa-siapa, melainkan suatu kutukan! Enyahlah selamanya!" mereka berteriak kepada Mitavinda.

Mitavinda yang malang! Karena ia tidak menyadari akan keberuntungan dirinya, ia telah membiarkan pikirannya diracuni oleh ketakutan dan iri hati saat ia menjadi seorang biksu desa. Akibat perbuatan yang tidak bajik, penuh kebencian terhadap seorang biksu yang sempurna, dan tipu muslihat yang dilakukannya dengan membuang persembahan makanan yang penuh kebajikan kepada yang terbebas dari kesalahan. Untuk perbuatan buruk itu, ia menderita kelaparan dan kehilangan kenyamanan tanpa akhir selama seribu satu kehidupan. Padahal perbuatannya itu untuk memastikan makanan dan tempat bernaung bagi dirinya sendiri saat sebagai seorang biksu desa, maah sebaliknya telah berdampak ke dalam penderitaan hebat dan keadaan yang paling ia takutkan.





Bagian 2. Ketamakan

Setelah diusir dari rumah, Mitavinda berkeliaran dan akhirnya tiba di Benares. Di sana ia berjumpa dengan seorang Bodhisatwa yang menjadi guru dunia yang terkenal pada masa itu dengan lima ratus muridnya. Orang-orang di Benares memberi dana makanan kepada para murid tersebut sebagai perbuatan bermurah hati, bahkan sebagai tindakan balas budi terhadap guru tersebut yang telah mengajarkan Dharma kepada mereka.

Sungguh beruntung, Mitavinda dijinkan bergabung bersama mereka. Ia mulai belajar di bawah pengarahan guru yang hebat ini sehingga ia dapat memperoleh makanan dengan teratur.

Tetapi, Mitavinda tidak memperhatikan sama sekali ajaran-ajaran guru bijak ini. Ia sangat tidak patuh dan kejam. Hidup sebagai anjing kelaparan selama lima ratus kelahiran telah menjadikannya senang bertengkar dan merupakan suatu kebiasaan yang melekat sehingga ia selalu terlibat perkelahian dengan murid-murid yang lain.

Hal itu berdampak sangat buruk di mana banyak murid yang berhenti belajar dan menjadikan pendapatan guru dunia ini berkurang hampir nyaris tidak ada. Akhirnya, Mitavinda dipaksa pergi dari Benares akibat perkelahiannya.

Ia menuju ke sebuah kampung yang jauh dan bekerja sebagai seorang buruh. Ia menikahi seorang wanita yang sangat miskin dan memiliki dua orang anak.

Kemudian, penduduk desa mengetahui bahwa ia pernah belajar dari guru dunia terkenal di Benares. Mereka pergi meminta nasihat kepadanya bila diperlukan. Mereka juga menyediakan tempat tinggal baginya di dekat pintu masuk desa.

Tetapi, bukannya situasi menjadi lebih baik setelah mereka mulai mendengarkan nasihatnya, malah desa itu didenda tujuh kali oleh raja. Kemudian rumah-rumah mereka diratakan dengan tanah sebanyak tujuh kali, bahkan tujuh kali kolam desa mengalami kekeringan.

Mereka menyadari bahwa permasalahan mereka muncul saat mulai mendengarkan nasihat Mitavinda. Maka mereka mengusir dia dan keluarganya keluar dari desa. "Enyahlah selamanya! Kamu bukan siapa-siapa, melainkan suatu kutukan!" teriak mereka.

Ketika Mitavinda dan keluarganya sedang dalam perjalanan, mereka melintasi sebuah hutan berhantu. Para setan itu keluar dari tempat pengintaiannya, membunuh dan memakan istri dan anak-anaknya. Mitavinda hanya satu-satunya yang dapat melarikan diri.

Ia mengembara sendirian ke kota pelabuhan dengan perasaan sengsara dan tanpa uang. Ada seorang pedagang kaya raya dan murah hati tinggal di kota itu. Ketika ia mendengar tentang ketidak-beruntungan Mitavinda, ia dan istrinya mengadopsi Mitavinda karena mereka tidak punya anak. Mereka memperlakukannya seperti layaknya mereka akan memperlakukan anak mereka sendiri.

Ibu dan ayah angkat Mitavinda adalah orang-orang yang taat beragama. Mereka secara tetap melakukan tindakan-tindakan bajik. Tetapi, Mitavinda tidak belajar dari pengalamannya. Ia tidak percaya pada agama apa pun dan karenanya begitu sering melakukan perbuatan-perbuatan buruk.

Suatu hari, beberapa waktu setelah ayahnya meninggal, si ibu memutuskan untuk menolong Mitavinda menjadi orang yang lebih taat beragama. "Ada kehidupan ini dan ada kehidupan mendatang. Jika kamu melakukan sesuatu yang buruk, kamu akan menerima akibat yang menyedihkan di kedua kehidupan ini," katanya.

Tetapi, Mitavinda yang bodoh menjawab, "Aku akan melakukan apa pun yang aku suka dan membuat diriku bahagia. Sama sekali tidak perlu dipikirkan apakah perbuatanku baik atau buruk. Aku tidak peduli dengan hal-hal demikian!"

Pada hari bulan purnama berikutnya, ibu Mitavinda menyarankannya pergi ke wihara di malam hari untuk mendengarkan ajaran-ajaran dari para biksu hingga pagi berikutnya. "Aku tidak akan membuang-buang waktuku!" katanya. "Jika kamu pulang, aku akan memberimu seribu koin emas," jawab ibunya.

Mitavinda berpikir bahwa dengan uang yang cukup ia dapat menyenangkan dirinya sepanjang waktu dan menjadi bahagia, jadi ia pergi ke wihara. Ia duduk di pojok, tanpa perhatian, dan jatuh tertidur sepanjang malam itu. Subuh keesokan harinya ia pulang ke rumah untuk mengambil hadiahnya.

Ketika itu, si ibu berpikir Mitavinda akan menghargai ajaran-ajaran bijaksana tersebut dan akan mengundang biksu tertua ke rumah dengannya. Jadi, beliau menyiapkan makanan lezat untuk tamu yang beliau harapkan. Ketika beliau melihat Mitavinda seorang diri, beliau bertanya, "Oh Anakku, kenapa kamu tidak mengundang biksu senior untuk sarapan pagi di rumah denganmu?"

"Aku tidak pergi ke wihara untuk mendengarkan biksu atau membawanya pulang ke rumah denganku. Aku pergi hanya untuk mendapatkan seribu koin emasmu!" Ibunya yang kecewa menjawab, "Jangan pikirkan uangnya. Karena aku telah menyiapkan begitu banyak makanan, sarapanlah dulu sebelum istirahat."
"Sampai kamu memberikanku uang, aku menolak makan!" jawabnya. Si ibu memberinya koin-koin emas. Setelah itu, barulah ia makan makanannya sampai kenyang. Lalu jatuh tertidur dengan cepat.

Kemudian, Mitavinda tidak berpikir seribu koin emas cukup baginya untuk secara terus-menerus menyenangkan dirinya. Maka ia gunakan uang itu untuk memulai sebuah usaha dan tidak begitu lama ia menjadi sangat kaya. Suatu hari ia pulang ke rumah dan berkata kepada ibu angkatnya, "Aku sekarang memiliki 120.000 koin emas. Tetapi, aku masih belum puas. Sebab itu, aku akan berangkat dengan kapal berikutnya, pergi ke luar negeri dan menghasilkan lebih banyak uang."

"Oh Anakku, mengapa kamu ingin pergi ke luar negeri? Laut begitu berbahaya dan sangat berisiko melakukan usaha dagang di tanah yang asing. Aku memiliki 80.000 koin emas di rumah ini. Itu cukup untukmu. Tolong jangan pergi, anakku satu-satunya," mohon si ibu dan memeluk Mitavinda untuk mencegahnya pergi.

Tetapi, Mitavinda telah gila oleh ketamakan. Ia mendorong tangan ibunya menjauh dan menampar wajah beliau. Beliau terjatuh ke tanah. Sakit dan terkejut, beliau berteriak, "Enyahlah selamanya! Kamu bukan siapa-siapa, melainkan suatu kutukan!"

Tanpa melihat ke belakang, Mitavinda bergegas menuju pelabuhan dan berlayar dengan kapal pertama yang berlabuh.





Bagian 3. Kesenangan

Setelah tujuh hari di Samudra Hindia, semua angin dan arus air laut berhenti mendadak. Semua yang di kapal ketakutan bahwa mereka akan mati setelah mereka terjebak selama tujuh hari di laut.

Mereka mengadakan undian untuk menemukan siapa yang menyebabkan kesialan dan ketidak-beruntungan yang menakutkan ini. Dan selama tujuh kali undian ditujukan ke Mitavinda.

Mereka memaksanya ke sebuah rakit bambu yang kecil dan membiarkannya terkatung-katung di laut lepas. "Enyahlah selamanya! Kamu bukan siapa-siapa, melainkan suatu kutukan!" teriak mereka. Ketika hal tersebut dilakukan, angin kencang meniup kapal itu untuk kembali melanjutkan perjalanannya.

Sungguh beruntung, hidup Mitavinda tertolong. Ini sebagai akibat perbuatan baiknya sebagai seorang biksu pada kehidupan lampaunya.

Tidak peduli berapa lama yang diperlukan, perbuatan-perbuatan baik selalu memberi hasil-hasil positif. Kadang kala, sebuah perbuatan menyebabkan hasil campuran, dengan beberapa bagian menyenangkan dan beberapa tidak menyenangkan. Dikatakan bahwa para Asura hidup sebagai akibat hasil campuran dalam sebuah cara yang tidak biasanya.

Para Asura adalah dewa berpenampilan buruk. Beberapa dari mereka cukup beruntung dapat mengubah bentuk mereka menjadi cantik, menjadi dewi penari yang muda. Mereka dikenal sebagai Apsara.

Mereka menikmati kesenangan yang menakjubkan selama tujuh hari, setelah itu, mereka akan dikirim ke neraka dan menderita akan siksaan sebagai hantu kelaparan selama tujuh hari. Ketika tujuh hari telah berlalu, mereka kembali menjadi dewi Apsara lagi. Ini terjadi berulang-ulang hingga kedua akibat itu terselesaikan.

Di cerita kita ini, ketika sedang berlayar di atas rakit bambunya yang kecil, Mitavinda sampai di Istana Kaca yang indah dan bertemu dengan empat Apsara yang sangat cantik. Ia menikmati kesenangan surgawi bersama mereka selama tujuh hari.

Ketika tiba waktunya bagi para dewi untuk menjadi hantu kelaparan, mereka berkata kepada Mitavinda, "Tunggulah kami, hanya tujuh hari yang singkat dan kami akan kembali dan melanjutkan kesenangan kita."

Kemudian, Istana Kaca dan keempat Apsara lenyap. Tetapi, Mitavinda tidak mendapatkan kedamaian pikiran yang sebelumnya ia miliki ketika sebagai seorang biksu desa pada masa yang sangat lampau. Kesenangan tujuh hari tidak dapat memuaskannya. Ia tidak dapat menunggu para dewi yang cantik itu untuk kembali. Ia begitu menginginkan lebih. Maka, ia pergi dan meneruskan perjalanannya dengan rakit bambu kecilnya.

Tidak berapa lama kemudian, ia menjumpai Istana Perak yang berkilauan. Delapan dewi Apsara yang cantik tinggal di istana itu. Sekali lagi, ia menikmati tujuh hari kesenangan yang luar biasa. Para Apsara ini juga memintanya untuk menunggu mereka dan menghilang kembali ke dunia neraka.

Tetapi, Mitavinda yang tamak tidak dapat menunggu. Ia pergi, dan semenakjubkan sebagaimana yang terlihat, ia menemukan Istana Permata yang berkilau-kilauan dengan enam belas Apsara yang sangat cantik. Ia menghabiskan tujuh hari berikutnya dalam kebahagiaan yang luar biasa. Tetapi, ketika mereka juga harus pergi, Mitavinda pergi dan menghabiskan tujuh hari berikutnya di Istana Emas yang bersinar-sinar dengan 32 Apsara yang paling memikat di antara semua.

Tetapi, masih juga ia tidak puas. Ketika semua 32 Apsara memintanya untuk menunggu, ia sekali lagi pergi dengan rakitnya.

Segera, ia tiba di pintu masuk alam neraka yang dipenuhi oleh makhluk-makhluk yang sangat tersiksa dalam penderitaan. Mereka hidup akibat karma buruk yang mereka lakukan. Tetapi, keinginan Mitavinda untuk kesenangan begitu kuat sehingga ia berpikir bahwa ia melihat sebuah kota indah yang dikelilingi dinding dengan empat gerbang yang menakjubkan. "Aku akan masuk ke dalam dan membuat diriku sebagai raja," pikirnya.

Setelah ia masuk, ia melihat salah seorang korban di alam neraka ini. Ia memiliki kalung di leher yang berputar-putar seperti sebuah roda dengan lima pisau tajam memotong-motong wajah, kepala, dada, dan punggung korban itu. Tetapi Mitavinda begitu buta oleh ketamakan akan kesenangan sehingga ia tidak dapat melihat kesakitan yang berada di depan matanya. Sebaliknya, ia melihat kalung pisau pemotong yang berputar itu seperti layaknya bunga teratai yang mekar dengan indah. Ia melihat darah yang menetes layaknya bubuk cendana wangi yang merah. Dan teriakan kesakitan dari korban yang malang itu layaknya nyanyian terindah.

Ia berkata kepada lelaki malang itu, "Kamu telah memiliki mahkota teratai yang indah itu cukup lama. Berikan kepadaku karena aku lebih layak mengenakannya sekarang!" Lelaki terkutuk ini mengingatkannya, "Ini adalah kalung pisau." "Kamu mengatakan demikian hanya karena kamu tidak ingin memberikannya kepaaku," jawab Mitavinda.

Lelaki ini berpikir, "Akhirnya, akibat perbuatan burukku pada masa lampau akan selesai. Sepertiku, orang malang yang bodoh ini harus berada di sini karena memukul ibunya. Aku akan memberikan kepadanya roda kesakitan ini." "Karena kamu begitu menginginkannya, ambillah mahkota teratai ini!" katanya.

Dengan perkataan ini, roda pisau itu berputar lepas dari leher korban sebelumnya itu dan mulai berputar di sekeliling kepala Mitavinda. Tiba-tiba, semua ilusi lenyap. Mitavinda menyadari ini bukanlah kota yang indah, tetapi alam neraka yang mengerikan; ia menyadari bahwa ini bukanlah mahkota teratai, tetapi roda pisau pemotong; dan ia menyadari bahwa dirinya bukanlah raja, tetapi terpidana. Menjerit dalam kesakitan, ia berteriak menyedihkan, "Ambil kembali rodamu! Ambil kembali rodamu!" Tetapi, lelaki itu telah menghilang.

Pada saat itu raja para dewa tiba berkunjung untuk mengajar di alam neraka. "Oh Raja Para Dewa, apa yang telah aku lakukan hingga layak untuk siksaan ini?" tanya Mitavinda. Dewa itu menjawab, "Menolak mendengar ajaran para biksu, kamu tidak mendapatkan kebijaksanaan, hanya uang. Kemudian, seribu koin emas, bahkan tidak juga 120.000, dapat memuaskanmu. Dibutakan oleh ketamakan, kamu memukul ibumu demi perjalanan untuk mengumpulkan kekayaan yang lebih banyak."

"Kemudian, kesenangan dari empat Apsara dalam Istana Kaca mereka tidak memuaskanmu. Tidak juga delapan Apsara di Istana Perak, tidak juga enam belas dalam Istana Permata. Bahkan, kesenangan dari 32 dewi-dewi yang sangat elok di Istana Emas juga tidak cukup untukmu. Dibutakan oleh ketamakan atas kesenangan, kamu berharap untuk menjadi raja. Sekarang akhirnya, kamu melihat mahkotamu hanyalah roda siksaan, dan kerajaanmu adalah sebuah alam neraka."

"Pelajarilah ini, Mitavinda - semua yang mengikuti ketamakan mereka, ke mana pun ia tuju, akan tetap tidak terpuaskan. Karena ini adalah sifat alamiah dari ketamakan untuk tidak terpuaskan dengan apa yang dimiliki seseorang, tidak peduli sedikit atau banyak. Makin banyak diperoleh, makin diinginkan - hingga lingkaran ketamakan menjadi lingkaran penderitaan."

Setelah mengatakan demikian, dewa itu kembali ke surga. Pada saat yang sama, roda itu menghujam ke arah Mitavinda. Dengan kepalanya berputar-putar dalam kesakitan, ia menemukan dirinya kembali terapung-apung di atas rakit bambu yang kecil.

Segera, ia tiba di sebuah pulau yang dihuni oleh setan wanita yang sangat kuat yang sedang menyamar menjadi seekor kambing. Kelaparan, Mitavinda tanpa pikir panjang menangkap kambing itu di kaki belakangnya. Ini membuat setan wanita itu menendangnya jauh ke udara. Akhirnya, ia mendarat di semak belukar di pinggiran Benares.

Setelah membebaskan dirinya dari semak, ia melihat beberapa ekor kambing sedang memamah di dekatnya. Ia sangat ingin kembali ke istana-istana dan para Apsara penari. Dengan mengingat bahwa seekor kambinglah yang telah menendangnya ke sini, ia menangkap kaki dari salah seekor kambing-kambing ini. Ia berharap kambing ini akan menendangnya tepat kembali ke pulau itu.

Sebaliknya, kambing ini hanya mengembik. Para gembala berdatangan dan menangkap Mitavinda karena diduga sedang mencuri salah seekor kambing raja.

Ia ditangkap sebagai seorang terhukum untuk dibawa ke hadapan raja. Mereka melalui kediaman guru dunia terkenal di Benares. Segera, beliau mengenali muridnya itu. "Ke mana kalian hendak membawa orang ini?" tanya beliau kepada para gembala.

"Dia seorang pencuri kambing. Kami akan membawanya ke hadapan raja untuk dihukum," jawab mereka. "Tolong jangan lakukan hal itu. Dia adalah salah seorang muridku. Lepaskanlah dia kepadaku, jadi dia dapat menjadi pelayan di sekolahku," mohon guru. Mereka setuju dan meninggalkannya di sana.

"Apa yang terjadi kepadamu setelah kamu meninggalkanku?" tanya si guru.

Mitavinda menceritakan perjalanannya, bagaimana ia pertama-tama dihormati dan kemudian dicaci oleh orang-orang di desa yang jauh. Ia menceritakan kepada si guru tentang pernikahannya dan kedua anaknya, hanya melihat mereka dibunuh dan dimakan oleh setan-setan di hutan yang berhantu. Ia menceritakan kepada beliau tentang tamparan terhadap ibu angkatnya yang pemurah ketika ia dibutakan oleh ketamakan dan bagaimana ia dicaci oleh rekan sekapalnya dan diapung-apungkan di atas rakit bambu. Ia juga menceritakan kepada gurunya tentang keempat istana dengan para dewi yang memukau dan bagaimana ketika setiap kesenangannya berakhir ia makin menginginkan lebih. Ia juga menceritakan tentang mahkota pisau - balasan atas ketamakannya di neraka. Dan ia menceritakan kepada beliau tentang kelaparan yang berakibat ditendangnya ia kembali ke Benares tanpa memperoleh satu gigitan pun untuk dimakan.

"Sangat jelas bahwa perbuatan-perbuatan masa lampaumu telah menyebabkan akibat-akibat positif ataupun negatif dan keduanya telah selesai. Tanpa menyadari bahwa kesenangan-kesenangan akan berakhir suatu hari, kamu membiarkan keinginan dan ketamakanmu atas kesenangan tumbuh, hanya untuk menjadi makin letih dan tidak terpuaskan. Tenanglah, Temanku! Pahamilah bahwa mencoba untuk menggenggam air dalam kepalan yang erat akan selalu membuatmu kehausan," ujar guru bijak itu.

Mendengar hal ini, Mitavinda membungkuk dengan penuh hormat kepada guru agung itu. Ia memohon kepada beliau untuk menerimanya sebagai murid lagi dan Bodhisatwa menerimanya dengan tangan terbuka.

Pesan moral:
"Tiada rasa kehilangan ataupun perolehan ketika kedamaian berada dalam pikiran."





Sumber: Ketamakan dan Kemurah-hatian, Penerbit Dian Dharma.

Selasa, 08 Maret 2011

Pendeta dan Gerombolan Penculik

Kisah tentang Kekuasaan dan Ketamakan

Dahulu kala di Benares ada seorang raja yang bernama Brahmadata. Di salah satu perkampungan terpencil dalam kekuasaan raja Brahmadata hiduplah seorang pendeta yang memiliki kekuatan ajaib. Ia mengetahui mantera ajaib yang diwariskan secara rahasia oleh gurunya.

Tetapi, mantera ini hanya dapat digunakan setahun sekali ketika planet-planet berderet dalam suatu cara tertentu. Hanya saat itulah mantera itu dapat bekerja di mana si pendeta mengunjarkan kata-kata rahasia ajaib ke dalam telapak tangannya yang terbuka, melihat ke langit, dan menepukkan tangannya. Maka turunlah hujan permata yang sangat berharga kepadanya.

Saat itu pendeta tersebut memiliki seorang murid yang sangat baik. Ia sangat cerdas dan mampu memahami pemikiran-pemikiran yang tersuit. Ia juga sangat patuh dan setia, selalu berkeinginan menghormati dan melindungi gurunya.

Suatu hari pendeta ini akan melakukan perjalanan ke perkampungan yang jauh untuk melakukan pengorbanan hewan. Karena ia harus menempuh jalan berbahaya, murid yang baik ini mendampinginya.

Di sepanjang jalan, bersembunyilah gerombolan lima ratus penjahat yang dikenal sebagai 'Gerombolan Penculik'. Mereka menangkap orang-orang dan meminta tebusan sebagai penukar nyawa orang yang diculik. Celakanya, pendeta dan murid yang baik ini tertangkap oleh Gerombolan Penculik tersebut. Mereka menginginkan tebusan sejumlah lima ribu koin emas untuk ditukar dengan nyawa dan kebebasan si pendeta. Lalu mereka membebaskan si murid untuk mengambil uang tersebut.

Sebelum berangkat, murid ini berlutut di hadapan gurunya dan membungkuk dengan penuh hormat. "Oh Guru, malam ini adalah malam di mana planet-planet akan berderet dengan sempurna dan manteramu dapat bekerja," kata si murid dengan berbisik agar para penjahat tidak mendengarnya. "Tetapi, aku harus mengingatkanmu, Guruku tersayang dan terhormat bahwa menggunakan kekuatan ini untuk menyelamatkan hidupmu dari orang-orang tamak ini akan sangat berbahaya. Memperoleh kekayaan dengan begitu mudah akan membawa mereka pada kehancuran. Jika engkau hanya memikirkan keselamatan dirimu sendiri dan membawa kemalangan bagi mereka, itu juga akan membahayakan dirimu."

"Oleh karena itu, Guruku, jangan gunakan mantera permata itu malam ini. Biarlah malam yang sungguh berharga ini berlalu untuk tahun ini. Bahkan, jika para penjahat melukaimu, percayalah kepada muridmu yang setia ini akan menyelamatkanmu, tanpa menambah bahaya bagi dirimu." Setelah berkata demikian, lalu ia pergi.

Malam itu, para penculik mengikat pendeta itu dengan ketat dan membiarkannya berada di luar gua sepanjang malam serta tidak memberinya makan dan minum.

Ketika bulan tampak dan pendeta melihat barisan planet-planet, ia berpikir, "Mengapa aku harus sangat menderita? Aku dapat menggunakan sihir untuk membayar tebusanku sendiri. Mengapa aku harus peduli dengan bahaya yang akan terjadi kepada lima ratus penculik ini? Aku seorang pendeta dengan kekuatan ajaib. Hidupku jauh lebih berharga dibandingkan mereka. Aku peduli hanya kepada hidupku. Di samping itu, kesempatan ini hanya datang sekali dalam setahun. Aku tidak dapat menyia-nyiakan kesempatan untuk menggunakan kekuatanku yang luar biasa."

Memutuskan untuk mengabaikan nasihat muridnya, ia memanggil para penculik, "Oh, kalian para pemberani dan perkasa, mengapa kalian mengikat dan membuatku menderita demikian?"

"Oh, pendeta yang suci, kami membutuhkan uang. Kami mempunyai begitu banyak mulut untuk diberi makan. Kami harus punya uang dalam jumlah yang banyak," jawab mereka.

"Aha, kalian melakukan ini untuk uang? Apakah hanya itu yang kalian inginkan? Baik, aku akan menjadikan kalian sangat kaya sehingga melampaui impianmu yang terdahsyat. Karena aku agung dan penuh daya. Sebagai seorang pendeta suci, kamu dapat mempercayaiku. Kalian harus melepaskan ikatanku, membersihkan kepala dan mukaku, mengenakanku pakaian baru, dan mengalungiku dengan rangkaian bunga. Kemudian, setelah menghormatiku, tinggalkan aku dalam kesendirian untuk melakukan keajaiban."

Para penculik mengikuti perintahnya. Namun, mereka tidak percaya kepadanya dan enggan membiarkannya sendirian. Lalu mereka bersembunyi dalam semak-semak dan mengamatinya diam-diam.

Mereka memperhatikan perilaku si pendeta yang tengah melihat ke arah langit, menundukkan kepala dan menggumamkan mantera ajaib ke dalam tangannya. Suaranya terdengar tanpa dapat dipahami. Mantera itu terdengar seperti ini, "Nah Wah Shed-nath. Eel Neeah Med-rak. Goh Bah Mil-neeay."

Kemudian ia menatap ke langit dan menepukkan kedua tangannya. Tiba-tiba, langit menghujaninya dengan permata-permata terindah.

Gerombolan Penculik ini keluar dari persembunyian dan mengambil semua batu-batu berharga itu. Mereka membungkusnya dalam kain dan pergi dengan membawa pendeta itu di belakang.

Dalam perjalanan, mereka dihentikan oleh gerombolan lima ratus perampok lain. "Kenapa kalian menghentikan kami?" tanya para penculik. "Berikan semua harta kalian!" perintah gerombolan lain itu.

"Tinggalkan kami. Kalian dapat memperoleh semua kekayaan yang kalian inginkan dari pendeta ini, seperti yang kami lakukan. Dia mengetahui keajaiban. Dia hanya perlu menggumamkan beberapa kata ajaib, melihat ke atas langit, menepukkan tangannya, dan permata-permata yang paling menakjubkan akan berjatuhan."

Para perampok membiarkan Gerombolan Penculik pergi dan mengelilingi pendeta itu. Mereka memerintahkannya melakukan keajaiban sekali lagi untuk mereka.

"Tentu saja, aku dapat memberikan semua permata yang kalian inginkan. Tetapi, kalian harus bersabar dan menunggu hingga setahun. Waktu yang berharga, di mana planet-planet berderet, telah berlalu. Ini tidak akan terjadi lagi hingga tahun depan. Datang dan temuilah aku kemudian, dengan senang hati aku akan menjadikan kalian kaya raya!"

Para perampok ini bukanlah tipe orang penyabar. Mereka menjadi sangat marah. "Hai, Pendeta Penipu, kamu hendak menipu kami, ya! Kamu menjadikan Gerombolan Penculik kaya raya dan sekarang kamu menolak melakukan hal yang sama untuk kami. Kami akan memberimu pelajaran karena telah meremehkan kami!" teriak mereka kepadanya. Lalu mereka memotong pendeta itu menjadi dua bagian dengan pedang yang tajam dan membiarkan kedua bagian tubuh itu tergeletak di tengah jalan.

Para perampok mengejar Gerombolan Penculik sehingga terjadi peperangan berdarah yang mengerikan. Setelah beberapa jam berlalu, para perampok itu membunuh seluruh penculik dan mengambil permata-permata yang menakjubkan itu.

Segera setelah mereka meninggalkan tempat pertempuran itu, kelima ratus perampok mulai bertengkar atas kekayaan itu. Terpecah menjadi dua kelompok yang saling bersaing, masing-masing terdiri dari 250 orang, lalu mereka melakukan pertempuran berdarah lainnya, hingga hanya tinggal dua orang yang masih hidup, satu orang dari masing-masig kelompok.

Dua orang ini mengambil semua permata berharga dan menyembunyikannya di dalam hutan. Karena mereka sangat lapar, salah seorang menjaga harta karun itu dan yang lain mulai memasak.

"Ketika dia selesai memasak, aku akan membunuhnya dan mengambil semua harta ini untuk diriku sendiri," pikir yang sedang menjaga permata itu.

Namun, saat itu yang sedang memasak juga berpikir, "Jika aku membagi permata-permata ini dengannya, bagianku akan berkurang. Karena itu, aku akan meracuni makanannya, membunuhnya, dan mengambil semua permata untuk diriku sendiri. Mengapa harus berbagi jika aku dapat memiliki semuanya?"

Karena kelaparan, yang memasak memakan sebagian nasi dan meracuni sisanya. Kemudian, ia membawa panci nasi itu dan menawarkannya kepada perampok lain itu. Perampok itu dengan segera mengayunkan pedangnya dan memotong kepala perampok yang membawa panci nasi.

Kemudian ia mulai memakan nasi beracun itu. Tidak lebih dari semenit, ia terjatuh dan mati di tempat itu juga.

Beberapa hari kemudian murid yang baik kembali dengan uang tebusan. Ia tidak dapat menemukan gurunya ataupun Gerombolan Penculik. Sebaliknya, ia hanya menemukan berbagai barang tidak berharga yang ditinggalkan para penculik setelah memiliki permata.

Lalu ia melanjutkan perjalanan kembali dan menemukan suatu pemandangan yang mengerikan dari tubuh gurunya yang telah mati. Menyadari bahwa gurunya telah mengabaikan peringatannya, ia meratapi kematian gurunya yang mengerikan itu. Kemudian ia membangun tempat pembakaran dari kayu, menutupinya dengan bunga-bunga hutan, dan memperabukan tubuh guru yang dihormatinya itu.

Tidak begitu jauh dari jalan, murid yang baik itu juga menjumpai lima ratus mayat dari Gerombolan Penculik. Lebih jau lagi, ia melihat 498 mayat penuh darah dari para perampok yang mati, dan dua pasang jejak kaki menuju hutan. Ia curiga bahwa dua orang terakhir itu mungkin juga bertengkar terhadap harta itu. Ia mengikuti jejak kaki itu hingga ia menemukan bungkusan permata-permata berharga dan dua mayat -salah satunya jatuh di depan panci nasi dan yang lain dengan kepala terpenggal. Ia segera mengetahui apa yang telah terjadi.

"Ini sangat menyedihkan. Guruku yang memiliki pengetahuan menakjubkan, tetapi tidak cukup memiliki kebijaksanaan. Dia tidak dapat menahan diri dari menggunakan kekuatan ajaibnya, tanpa peduli akan akibatnya. Dengan menyebabkan kematian terhadap seribu penjahat yang tamak, dia juga merugikan dirinya sendiri," pikirnya.

Murid yang baik ini mengambil harta tersebut dan kembali ke kampung dan menggunakannya dengan murah hati untuk kebaikan banyak orang.


Pesan moral:
"Ketika kekuatan tidak dipadani dengan hati nurani dan keserakahan tiada batas, maka pembunuhan juga tiada akhir."




Sumber: Ketamakan dan Kemurah-hatian, Penerbit Dian Dharma.

Senin, 07 Maret 2011

Rusa Angin dan Rumput Madu

Kisah Tentang Kemelekatan

Pada jaman dahulu kala, raja Benares mempunyai seorang tukang kebun yang merawat taman peristirahatannya. Kadang-kadang hewan-hewan dari hutan terdekat akan keluyuran ke taman itu. Si tukang kebun mengeluhkan hal ini kepada raja, yang sebaliknya berkata, "Jika kamu melihat hewan aneh, katakan segera kepadaku!"

Suatu hari tukang kebun tersebut melihat sesuatu yang aneh. Ia melihat sejenis rusa aneh di ujung taman. Ketika rusa itu melihatnya, rusa itu berlari secepat angin. Tukang kebun itu tahu bahwa ia telah melihat sekelebat dari 'rusa-angin'. Mereka adalah jenis hewan yang sangat langka dan sangat luar biasa pemalu. Mereka sangat mudah ketakutan akan kehadiran manusia.

Sebagaimana yang telah diperintahkan, tukang kebun itu melapor kepada raja tentang 'rusa angin' ini. "Apakah kamu dapat menangkap hewan langka ini?" tanya raja. "Tuanku, jika engkau memberikanku beberapa madu lebah, aku dapat membawanya ke istana ini!" jawab si tukang kebun. Raja memerintahkan bahwa si tukang kebun itu dapat memperoleh madu lebah sebanyak yang ia inginkan.

Sekarang dalam cerita ini, 'rusa angin' kecil kita ini sangat suka memakan bunga-bunga dan buah-buahan yang tumbuh di taman peristirahatan raja. Agar tidak menakuti 'rusa-angin' tersebut, si tukang kebun membiarkan dirinya terlihat sedikit demi sedikit sehingga rusa itu terbiasa dengan kehadirannya. Selanjutnya, ia menebarkan madu di rerumputan di mana rusa-angin biasanya memamah. Dengan cukup pasti, rusa itu mulai memakan rumput yang berlapiskan madu. Segera, ia menjadi ketagihan akan rasa dari 'rumput-madu' ini dan datang ke kebun setiap hari. Tak berapa lama, rusa itu tidak memakan apa pun selain 'rumput-madu'!

Tukang kebun itu mendekati 'rusa-angin' sedikit demi sedikit. PAda awalnya rusa itu akan berlari menjauh. Tetapi, secara perlahan, 'rusa-angin' terbiasa dengan kehadirannya. Rusa itu kehilangan rasa takutnya dan berpikir bahwa orang itu tidak merugikan. Bahkan, tukang kebun itu dapat membuat rusa tersebut makan rumput-madu dari tangannya. Ia melakukan hal ini selama beberapa waktu hanya untuk membangun keyakinan dan kepercayaan rusa itu.

Sementara itu, si tukang kebun juga membuat serangkaian tirai, membuat jalur yang lebar dari sudut terjauh taman peristirahatan hingga ke istana raja. Tirai ini akan mencegah 'rusa-angin' melihat orang-orang dari dalam jalur yang mungkin mengejutkannya.

Ketika semua telah siap, tukang kebun mengambil sebuah keranjang yang berisi rumput dan wadah madu bersamanya. Kemudian ia mulai memberi makan 'rusa-angin' dari tangannya kerika rusa itu muncul. Secara bertahap, tukang kebun itu membimbing 'rusa-angin' ke dalam jalur tirai. Ia terus membimbingnya dengan rumput-madu secara perlahan hingga akhirnya rusa itu mengikutinya menuju istana. Ketika di dalam bangunan, prajurit-prajurit istana menutup pintu-pintu dan 'rusa-angin' terperangkap. Ketakutan karena melihat begitu banyak manusia di sekelilingnya, rusa itu mulai berlari berkeliling dengan cepat, dengan kalut mencari jalan untuk melarikan diri.

Raja datang ke ruangan itu dan melihat 'rusa-angin' yang ketakutan tersebut. "Alangkah kasihannya 'rusa-angin' ini! Bagaimana ia dapat menjadi demikian? Seekor 'rusa-angin' adalah seekor binatang yang tidak akan kembali ke tempat di mana ia telah melihat seorang manusia selama tujuh hari penuh. Dan secara umum, jika ia telah mewaspadai tempat tertentu, ia tidak akan kembali ke sana untuk seumur hidupnya! Tetapi lihat! Bahkan makhluk liar pemalu demikian dapat terperangkap karena keinginannya untuk sesuatu yang manis dan bahkan terpikat ke istana di tengah kota," kata beliau.

"Teman-temanku, para guru mengingatkan kita untuk tidak terlalu mlekat terhadap tempat di mana kita menetap sebab semua itu bersifat sementara dan akan segera berlalu. Mereka mengatakan bahwa terlalu melekat terhadap suatu lingkaran kecil kekerabatan akan mengikat dan membatasi pandangan yang lebih luas. Tetapi lihatlah betapa berbahayanya kemelekatan terhadap rasa manis atau sensasi rasa lainnya. Lihatlah bagaimana si tukang kebunku menjerat hewan elok pemalu ini dengan mengambil keuntungan dari kemelekatannya pada rumput berlapiskan madu."

Tidak ingin membahayakan 'rusa-angin' yang lembut ini, raja melepaskannya kembali ke hutan. Sejak hari itu, rusa itu tidak pernah kembali ke taman peristirahatan raja.

Pesan moral:
"Kemelekatan dan keinginan dapat membahayakan kesejahteraan seseorang."






Sumber: Ketamakan dan Kemurah-hatian, Penerbit Dian Dharma